"Di masa tuanya, Pak Harto sudah cukup dikuya-kuya (dianiaya secara psikologis- red). Saya kira Pak Harto lebih baik diberi pengampunan secara politis," kata Ichlasul menjawab pertanyaan wartawan disela-sela acara halal bihalal keluarga besar UGM di Balairung Kampus UGM Yogyakarta, Sabtu (22/12) siang.
Menurut Ichlasul, proses hukum apapun yang akan dikenakan kepada Soeharto akan memakan waktu panjang dan tidak menyelesaikan persoalan. Karenanya, lebih tepat memberikan pengampunan politik kepada Soeharto dibanding memberi pengampunan melalui proses hukum.
"Abolisi itu kan proses hukum. Bahkan jika presiden memberikan amnesti, semua itu juga harus melalui proses hukum. Yang pasti, terlepas dari kata-kata abolisi ataupun amnesti, saya kira lebih baik Soeharto dibebaskan. Rasanya tidak enak kan bekas presiden yang sudah seperti itu masih dikejar-kejar terus," ujarnya.
Menjawab pertanyaan apakah pemberian ampunan itu tidak akan melukai rasa keadilan masyarakat, Ichlasul menyatakan jangan menyamakan posisi Soeharto dengan pencuri ayam. Dia menegaskan, bila tetap ngotot Soeharto harus diproses secara hukum, persoalannya tidak akan kunjung selesai. "Di masa tuanya Pak Harto sudah cukup dikuya-kuya. Apa masih perlu harus diinjak-injak," ujarnya.
Ichlasul Amal juga tidak sependapat bila pemberian ampunan kepada Soeharto itu akan menjadi preseden buruk bagi pelaku kejahatan terhadap rakyat dan negara di masa mendatang. "Saya kira tidak akan ada orang yang mau meniru Pak Harto yang pada masa tuanya malah dikejar-kejar. Itu juga bisa dilihat pada Marcos di Philipina yang malah lari (dari negaranya sendiri). Karenanya, tindakan politik terhadap Pak Harto menurut saya lebih tepat dibanding tindakan hukum," tegasnya.
Pengampunan secara politik kepada Soeharto, bisa dilakukan dengan persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Tindakan politik yang dimaksud adalah tidak perlu membawa Soeharto ke pengadilan. Menurut Ichlasul Amal, di beberapa negara tindakan politik bisa terjadi secara ekstrem, misalnya dengan memutuskan hukuman gantung atau tembak langsung. "Namun untuk Indonesia, menurut saya, memaafkan jelas lebih tepat," tegasnya.(Heru CN-Tempo News Room)