"Fatwa menggunakan batas setelah nidasi dan UU menghitung dari hari pertama setelah haid," jelas Pengamat Kesehatan Kartono Muhammad ketika dihubungi, Rabu (14/10)
Kemarin Majelis Keagamaan yang diwakili enam agama menolak pasal tentang aborsi dalam UU Kesehatan. Keenamnya adalah Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Perwakilan Umat Budha Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin menyatakan pengecualian aborsi tetap harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari sedangkan undang-undang membolehkan usia janin sampai enam minggu. "Kalau lebih dari 40 hari tidak boleh," tegasnya kemarin.
Pasal itu berisi aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6(enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
Kartono menguraikan batas 40 hari yang ditetapkan Fatwa MUI (Fatwa No.4/2005) dihitung dari masa nidasi yakni ketika sel telur yang sudah berbentuk zygot menempel dari dinding rahim. Pembuahan, ia menjelaskan, bukan terjadi ketika haid, tapi dua minggu setelah haid. Akibatnya jika disetarakan dengan UU justru hitungannya menjadi delapan minggu. "Jadi UU itu masih sesuai karena hanya enam minggu," tegasnya.
Majelis kemarin juga meminta agar pihak yang aborsi harus mendapat izin dari orang tua, ulama dan pihak kesehatan. Menurut Kartono masalah teknis seperti perizinan aborsi yang diminta Majelis, bisa diatur dalam peraturan pemerintahnya. "Yang penting harus jelas siapa dan kriteria mereka, harus dipikirkan betul" harapnya. Ia memisalkan, siapa saja yang bisa disebut ulama, bagaimana dengan orang-orang yang tidak beragama.
DIANING SARI