TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memberikan catatan kepada Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan untuk penuntasan agenda reforma agraria.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika, mengatakan anak buah Presiden Prabowo itu harus peka terhadap pekerjaan rumah yang belum tuntas di pemerintahan sebelumnya, terutama penuntasan konflik agraria.
"Termasuk mengantisipasi warisan buruk pemerintahan Jokowi yang akan menjadi bom waktu jika tidak segera diurai secara cepat dan tepat," kata Dewi dalam rilis resmi, Jumat 25 Oktober 2024.
Catatan KPA selama 10 tahun terakhir menyebut pemerintahan Jokowi telah gagal menunaikan janji politiknya melaksanakan land reform 9 (sembilan) juta hektar. KPA mencatat dari 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas 1,6 juta hektar, hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan dan diredistribusikan kepada petani.
Redistribusi itu pun, kata Dewi, hanya berjalan di wilayah konflik agraria eks HGU swasta. Sementara capaian LPRA untuk tipologi BUMN (PTPN, Perhutani/Inhutani), HTI dan klaim-klaim kawasan hutan tidak satu pun yang berhasil.
"Sementara laporan Kementerian ATR/BPN, Presiden Joko Widodo hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar," kata Dewi.
Menurut Dewi, Pemerintahan Jokowi membohongi publik dengan memanipulasi angka capaian reforma agraria dengan capaian-capaian sertifikasi atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Padahal sertifikasi adalah tugas harian Kementerian ATR/BPN, tidak menyelesaian konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah. "Kegagalan ini sebenarnya sangat ironis, sebab pemerintah sendiri telah mengatakan bahwa ada 7,24 juta hektar tanah (HGU dan HGB) terindikasi terlantar," kata Dewi.
Bahayanya, kata Dewi, kemandegan penyelesaian konflik agraria itu berjalan seiring dengan naiknya letusan konflik agraria akibat ragam investasi dan pembangunan yang lapar tanah di bidang agraria, PSN, Bank Tanah dan Food Estate. Hasilnya konflik agraria semakin menumpuk.
Periode 2015-2023, KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,75 juta rumah tangga petani. Penanganan-penangan yang represif di wilayah konflik menambah deret panjang korban, di mana terdapat 2.442 orang mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 orang tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria.
Salah satu penyebab mandeknya realisasi reforma agraria, kata Dewi, adalah kinerja buruk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Termasuk pendekatan Kementerian ATR/BPN yang selama ini masih terjebak pada konsepsi clean and clear. "Artinya hanya menyasar wilayah-wilayah yang sudah tidak terjadi lagi konflik agraria yang eksisting di lapangan," kata Dewi.
KPA, kata Dewi, ingin menteri baru melakukan beberapa langkah dalam upaya menjalankan agenda reforma agraria sejati, menuntaskan penyelesaian konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah.
Menurut Dewi, menteri baru perlu membangun sistem pendaftaran tanah secara nasional, sistemik, partisipatif, pro-aktif, transparan dan akuntabel. Lalu, menghentikan pendekatan-pendekatan clear and clean, legalistik dan mekanisme top-down dalam menjalankan RA
Selain itu, menteri baru harus membangun sistem keterbukaan informasi atas hak atas tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Milik; serta hak pengelolaan (HPL). Menteri baru juga perlu mngevaluasi dan mencabut HGU, HGB, Hak Pakai atau pun bentuk baru seperti HPK yang terbukti menjadi penyebab konflik agraria, ketimpangan, penggusuran, dan perampasan tanah masyarakat.
Dewi juga menyarankan, menteri baru mengkoreksi dan menghentikan kebijakan pemberian tanah-tanah baru kepada perusahaan. Begitu pula dengan program Kementerian ATR/BPN yang kontra dengan agenda reforma agraria.
Lalu, Dewi meminta menteri baru menertibkan praktik-praktik korupsi agraria dan mafia tanah yang selama ini bersemayam di lingkungan Kementerian ATR/BPN. Sebab, Dewi menilai, penyebab utama konflik agraria selama ini akibat kekeliruan dan penyalahgunaan wewenang pejabat ATR/BPN dalam pengadaan tanah dan mengeluarkan konsesi.
"Kemudian, memprioritaskan pelaksanaan agenda reforma agraria dengan menyasar wilayah-wilayah konflik agraria dan titik ketimpangan agraria yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan," kata Dewi.
Selanjutnya, memprioritaskan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani, petani tidak bertanah dan masyarakat pedesaan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Pilihan Editor: Makan Bergizi Gratis 'Harga Mati', Prabowo Ancam Pecat Menteri yang Tak Mendukung