TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, mengatakan Permendikbud Anti-Perundungan harus mencakup adanya Standard Operational Procedure (SOP) untuk pelaporan kasus perundungan. Selain itu, Edi menekankan pentingnya bagi kampus untuk membangun kepercayaan agar mahasiswa berani melaporkan kasus kekerasan.
Permendikbud yang sedang digodok oleh Kemendikbudristek ini merupakan langkah tindak lanjut setelah muncul dugaan perundungan yang berkaitan dengan kematian salah satu peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro. Permendikbud baru ini akan mengatur tiga isu, yaitu kekerasan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
"Sejauh ini kami berkerja sama dengan kementrian lembaga lagi untuk menyusun Permendikbud itu," kata Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, dalam siaran YouTube FMB9ID_IKP Kominfo, dikutip Ahad, 22 September 2024. Permendikbud tersebut juga akan mengatur pembentukan dan peran satuan tugas apabila menerima aduan.
Terkait Permendikbud tersebut, Edi mengatakan bahwa di dalamnya harus ada aturan mengenai mitigasi untuk mengidentifikasi peluang-peluang terjadinya perundungan. “Mesti ada semacam SOP yang jelas yang dimiliki oleh kampus itu sendiri. Jadi kalau ada mahasiswa yang memeproleh perundungan, dia tahu harus bilang ke mana,” kata Edi saat dihubungi Tempo pada Selasa, 24 September 2024.
Selain SOP, Edi mengatakan peraturan tersebut harus memuat kejelasan dan ketegasan bagaimana kasus tersebut dituntaskan secara adil. Sebab, menurut dia, ada banyak kasus kekerasan di perguruan tinggi yang akhirnya disebarkan melalui media sosial, namun tidak ada kejelasan mengenai pembuktiannya.
Edi juga menyoroti pentingnya peran institusi pendidikan untuk bisa menerjemahkah peraturan pemerintah sampai ke tahap operasional, termasuk dalam menentukan siapa figur yang cocok untuk menjadi anggota satuan tugas. “Jadi figurnya harus yang dekat dengan mahasiwa, punya keterampilan komunikasi yang bagus, paham psikologinya mahasiswa, dan kulturnya mereka seperti apa,” kata Edi.
Sebab, meski saat ini di kampus sudah ada satuan tugas untuk penanganan kasus kekerasan seksual, masalahnya masih terkendala dalam ketidakberanian korban untuk melapor. “Sebenarnya pihak yang paling punya potensi untuk tahu ada perundungan di perguruan tinggi itu satu, mahasiwa itu sendiri. Kedua, dosennya,” kata dia.
Oleh karena itu, Edi berpandangan bahwa dosen seharusnya mendapat pelatihan untuk bisa menjadi pendengar yang baik dan memastikan adanya ruang aman bagi mahasiswa. Sehingga, mahasiswa punya sosok yang dipercaya untuk melaporkan kasus perundungan.
Pilihan Editor: Permendikbud Anti-Bullying yang Baru Tengah Digodok, Kemenkes Bakal Usulkan Ini