TEMPO.CO, Jakarta - Pemberontakan Madiun medio September 1948 berakhir dengan kekalahan telak bagi partai Komunis Indonesia disingkat PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dampak dari pemberontakan ini sangat luas, tidak hanya bagi organisasi yang terlibat langsung, tetapi juga bagi seluruh barisan kekuatan kiri di Indonesia.
Dikutip dari Kemendikbud, sekitar 200 anggota PKI dan pemimpin golongan kiri lainnya yang masih berada di Yogyakarta ditangkap pada 19 September 1948. Presiden Sukarno mengecam pemberontakan melalui radio dan mengimbau masyarakat untuk mendukung pemerintah yang sah.
Banyak pemimpin kiri, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam pemberontakan, ditangkap atau dibunuh. Sekitar 35.000 orang ditangkap, sementara jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai ribuan orang.
Peristiwa ini juga memicu pengikisan kepercayaan terhadap kelompok kiri di Indonesia. PKI, yang sebelumnya merupakan salah satu kekuatan politik utama, kehilangan banyak pengaruh dan dukungan di kalangan rakyat.
Selain itu, peristiwa ini menanamkan permusuhan yang mendalam antara TNI dan PKI, yang akan terus berlanjut hingga dekade-dekade berikutnya. Tradisi permusuhan ini memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang kembali melibatkan PKI dalam upaya kudeta yang berujung pada kehancuran partai tersebut.
Dengan berakhirnya pemberontakan dari Madiun ini, PKI mengalami penurunan pengaruh dan dianggap sebagai pengkhianat Revolusi. Kelompok-kelompok kiri yang menganut pemikiran Tan Malaka kemudian membentuk Partai Murba pada Oktober 1948 dan menjadi kekuatan kiri utama dalam politik Indonesia.
Sementara itu, PKI membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkan diri, dan baru pada tahun 1950-an awal partai ini kembali muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan. Namun, efek terbesar dari pemberontakan Madiun adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap gerakan kiri di Indonesia.
Pilihan editor: 18 September 1948 Meletusnya Pemberontakan PKI di Madiun, Bagaimana Kronologinya?