TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Isnur menyampaikan, sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing.
"Pengaduan yang masuk di TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) hingga pukul 21.30 (22 Agustus 2024) ada 26 laporan," kata Isnur, pada 23 Agustus 2024.
Isnur menguraikan, puluhan laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali.
Melihat banyaknya tindakan represif dalam aksi mahasiswa mengawal Putusan MK, Guru Besar Universitas Gadjah Mada atau UGM Prof. Koentjoro melihat kepolisian yang tersebar di beberapa daerah tidak kompak menjalankan tugasnya.
“Polisi tidak kompak karena setiap daerah itu berbeda. Sebab, di Yogyakarta, Suwondo Nainggolan, Kapolda Yogyakarta turun dan berdialog bersama massa sehingga bisa mengendalikan aksi,” kata Koentjoro kepada Tempo.co, pada 24 Agustus 2024.
Koentjoro mengingatkan tugas polisi untuk mengayomi masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Ia juga menekankan, polisi perlu menjalankan tugas sesuai aturan hukum yang berlaku, baik kepada masyarakat sipil maupun pejabat publik, termasuk presiden.
“Kita harus mengingatkan kepada polisi bahwa Jokowi dapat dibela, jika menjalankan fungsi sebagai presiden dengan benar. Namun, polisi harus menolak (mengayomi), jika Jokowi menjalankan dan menyalahgunakan fungsi sebagai ayah Gibran dan Kaesang,” ujarnya.
Koentjoro melihat, setiap manusia memiliki multiperan dalam kehidupan sehari-hari. Polisi juga dapat menjalankan perannya dalam setiap aspek sehingga tidak dicampuradukkan dengan hal lain.
“Saya mengingatkan kepada polisi bahwa manusia itu multiperan. Dari peran yang berbeda, kita harus berperilaku sesuai peran. Kalau polisi mencampuradukkan peran, bakal menjadi tidak baik,” ujar Dosen Fakultas Psikologi UGM itu,
Koentjoro juga menyampaikan, jika polisi tidak dapat berperilaku sesuai peran, akan sama seperti DPR. Sebab, DPR berperan sebagai wakil rakyat. Namun, saat ini, DPR sudah merusak kepercayaan rakyat yang menganulir Putusan MK terkait Pilkada. Dengan demikian, Koentjoro menekankan, polisi harus selalu berpihak pada kebenaran sehingga dapat berperan melindungi dan mengayomi masyarakat.
“Polisi harus berpihak selalu pada kebenaran. Rakyat harus dilindungi dan diayomi. Sebab, rakyat juga dipermainkan dalam aturan DPR yang menganulir MK sehingga harusnya dilindungi saat aksi mahasiswa kawal Putusan MK,” kata dia.
RACHEL FARAHDIBA R | NOVALI PANJI NUGROHO
Pilihan Editor: Bahlilk Sebut Raja Jawa, Guru Besar UGM: Pengakuan Dinasti dan Bentuk Penghambaan