TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyebut baru akan menunjuk struktur dewan pembina partai besok. Penunjukan akan dilakukan langsung olehnya karena dirinya juga menjadi ketua formatur.
“Siapa yang menjadi dewan pembina, tunggu tangal mainnya. Besok saya umumkan,” kata Bahlil usai Musyarah Nasional (Munas) ke-XI Partai Golkar di JCC Senayan, Rabu, 21 Agustus 2024.
Bahlil mengatakan, sebagai ketua umum, dirinya memiliki kewenangan menunjuk siapa yang bakal menjadi dewan pembina maupun dewan etik partai berlambang pohon beringin tersebut.
“Tadi dalam keputusan Munas memang untuk dewan pembina, dewan etik kemudian dewan kehormatan itu diberikan kewenangan kepada ketua umum sebagai ketua formatur,” kata Bahlil.
Sebelumnya, Bahlil membantah isu Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar mendatang. "Enggak ada sampai urusan Pak Presiden Jokowi mau jadi (ketua) dewan pembina itu sampai dengan hari ini. Enggak ada. Saya berdiskusi kok, jadi enggak benar itu," kata dia.
Namun, di sisi lain, Bahlil tidak menolak jika ada usulan yang mendorong Jokowi sebagai ketua dewan pembina. "Kita enggak boleh melarang orang berasumsi, negara kita kan demokrasi," ujarnya.
Lebih lanjut, Bahlil tidak mempermasalahkan jika Jokowi digadang-gadang menduduki jabatan tersebut. Dia mempersilakan wacana itu berkembang dan menjadi doa. "Bukan enggak mau. Kalau doanya begini terus, diijabah oleh Allah, kalau terjadi ah, paten barang itu kan," tuturnya.
Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024. Forum itu menyetujui Bahlil Lahadalia menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar periode 2024-2029 menggantikan Airlangga Hartarto yang mengundurkan diri.
Bahlil merupakan calon tunggal terpilih melalui proses aklamasi atau penunjukan langsung. Selain menjadi ketua umum, Bahlil resmi ditunjuk sebagai formatur tunggal yang berwenang penuh untuk menyusun kepengurusan Partai Golkar.
Pilihan Editor: Iluni FHUI Sebut Pengabaian Putusan MK oleh DPR Cermin Buruk Supremasi Hukum Indonesia