TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengkritik klaim pembangunan Presiden Jokowi yang disampaikannya dalam pidato Sidang Tahunan MPR/DPR RI, Jumat, 16 Agustus 2024. Dalam pidatonya, Jokowi mengklaim sejumlah keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintahannya dalam sepuluh tahun terakhir.
“Pembangunan di masa Jokowi yang diklaim berhasil, malah mencerminkan keberhasilan yang semu. Proyek-proyeknya bersifat elitis dan bukan berangkat dari kepentingan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam acara Diskusi Publik “Refleksi Kemerdekaan RI ke-79: Pembangunan untuk Siapa” di Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
Usman juga mengkritik permintaan maaf Presiden Jokowi. Menurut dia, permintaan maaf itu disampaikan tanpa menjelaskan bentuk kesalahan yang telah dilakukan pemerintah. Ia menuturkan, seharusnya permintaan maaf ditujukan karena kebijakan pembangunan yang justru kerap mengancam masyarakat adat pemegang ulayat dan lingkungan sekitar mereka.
“Jadi pembangunan ini dia lakukan untuk siapa? Bila pembangunan untuk rakyat, mengapa malah mengancam kehidupan mereka,” tutur Usman.
Usman menyoroti masih banyak masyarakat adat yang lahannya tidak diakui secara formal oleh pemerintah. Ini membuat masyarakat adat selalu berada dalam posisi rentan akan konflik agraria dan menjadi korban proyek-proyek pembangunan, baik yang digarap pemerintah dan swasta.
Sementara masyarakat adat yang kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan. Amnesty International Indonesia mencatat dari periode Januari 2019 hingga Maret 2024, terdapat setidaknya delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 84 korban.
“Para korban tersebut ada yang dilaporkan ke polisi, ditangkap, dikriminalisasi, maupun menerima intimidasi dan serangan fisik saat memperjuangkan hak-hak mereka,” ujarnya.
Jaya Darmawan, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan pembangunan inklusif dan berkelanjutan yang gencar dinarasikan selama pemerintahan Jokowi ternyata belum memberi hasil yang diharapkan.
“Anak muda banyak yang menganggur. Sebanyak 10 juta gen-Z, yaitu anak muda usia 15-24 tahun, tidak sedang bekerja, bersekolah, atau mengikuti pelatihan. Tingginya jumlah anak muda yang tidak memiliki aktivitas tersebut akan menjadi bom waktu di masa depan,” ujar Jaya.
Dia juga menyoroti ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang makin besar di Indonesia di tengah penurunan kelas menengah. Ironisnya, kata dia, 50 orang terkaya mengalami kenaikan 40 persen kekayaan. Di sektor lain, performa logistik Indonesia tertinggal di kawasan ASEAN.
Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari, juga menyoroti lemahnya perlindungan negara terhadap pelestarian lingkungan di tengah gencarnya narasi pembangunan. Ia melihat perambahan hutan dan perusakan lingkungan terus merajalela.
“Hutan-hutan terancam habis dialihfungsikan. Namun negara kerap membiarkan aksi-aksi perambahan hutan. Sementara warga setempat yang berjuang untuk menyelamatkan lingkungan mereka malah kerap terancam dikriminalisasi,” ujarnya.
Sementara Ully Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengritik modus operandi pembangunan di masa pemerintahan Jokowi. Menurutnya, kebijakan disusun tidak berdasarkan partisipasi penuh dari rakyat, khususnya perempuan.
“Proyek-proyek pembangunan ataupun izin industri ekstraktif tidak berdasarkan partisipasi penuh dan bermakna rakyat, bahkan tidak menghormati hak rakyat untuk menyatakan tidak,” kata Ully.
Selain itu, kata Ully, negara kerap melakukan kekerasan dengan menggunakan alat negara seperti polisi dan tentara. Bahkan di banyak kasus menggunakan preman dan ormas untuk menyerang warga maupun aktivis yang menentang proyek-proyek yang merusak lingkungan.
WALHI mencatat terdapat 2.710 kejadian konflik agraria selama rezim Jokowi. Pada tahun 2021 saja WALHI menemukan 72 persen konflik disebabkan operasi bisnis perusahaan swasta dan 13 persen lainnya adalah PSN.
Dalam pidatonya di Gedung DPR/MPR RI kemarin, Presiden Jokowi menyampaikan pencapaian dalam pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) selama 10 tahun terakhir. Ia mengatakan Indonesia berhasil menghadapi berbagai tantangan berat mulai dari pandemi Covid-19, gejolak geopolitik global, hingga perubahan iklim.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu terjaga di kisaran 5 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan global yang sebesar 3,4 persen,” kata Presiden Jokowi dikutip dari keterangan resminya.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam periode 2015-2024, Indonesia berhasil menambah tenaga kerja baru sebanyak 21,3 juta orang, dengan rasio utang yang tetap rendah di antara negara-negara G20 dan ASEAN. Jokowi juga mengklaim indikator kesejahteraan masyarakat meningkat signifikan, ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
“Tingkat pengangguran turun menjadi 4,8 persen di tahun 2024. Tingkat kemiskinan turun tajam menjadi 9,03 persen di tahun 2024. Angka kemiskinan ekstrem juga turun signifikan menjadi 0,83 persen di tahun 2024,” kata dia.
Presiden Jokowi juga membanggakan kemajuan pembangunan infrastruktur yang disebutnya Indonesia-sentris. Ia menyebut pembangunan jalan tol, jalan nasional, bendungan, irigasi, pelabuhan, bandara, dan Ibu Kota Nusantara (IKN) berhasil menurunkan biaya logistik dan meningkatkan daya saing Indonesia secara global.
Pilihan Editor:Jokowi Minta Maaf, Amnesty International Indonesia: Pidato Kosong