TEMPO.CO, Jakarta - Masih lekat diingatan Ni Luh Erniati saat suaminya Gede Badrawan ikut menjadi korban ledakan Bom Bali I saat bekerja di Sari Club (SC) Jalan Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002.
Badrawan meninggal dunia di usianya yang ke-31 tahun, malam itu Erniati menuturkan Badrawan tengah bekerja di Sari Club. Ia meninggalkan istri dan dua anaknya yang saat itu masih berusia sembilan tahun dan satu setengah tahun.
Sebelumnya, saat berita pemboman di Legian itu beredar, ia sempat berkeyakinan bahwa sang suami masih hidup sampai ia melihat sendiri kondisi lokasi kejadian.
“Begitu sampai di sana, melihat apa yang terjadi di Sari Club. Saya lihat bagaimana sukarelawan di sana membantu evakuasi korban, dan apa yang saya bilang dalam hati bahwa suami saya masih hidup itu sudah hilang, sudah nggak mungkin lagi,” kata dia ditemui Tempo pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Bali itu mengungkapkan, butuh waktu hingga empat bulan sampai jenazah sang suami berhasil diidentifikasi dokter forensik.
“Saya dapat informasi yang jelas tentang almarhum itu, setelah empat bulan, jadi selama empat bulan itu saya menanti. Menanti kalau tiba-tiba suami saya pulang,” ia menambahkan, “Saya cuma bisa nanya satu, dok gimana kondisinya, saya nggak kebayang kan, nggak kebayang sama sekali, dan dokter jawab, itu tujuh puluh persen (yang tersisa),” kata dia.
Untuk menerima situasi itu, dia mengaku, bukan perkara mudah terlebih ia harus memikul peran ganda sebagai orang tua.
“Saya yang dulunya sebagai ibu rumah tangga biasa, tiba-tiba harus jadi bapak sekaligus jadi orang tua tunggal, saya harus kerja, saya harus menjaga mereka juga, sedangkan mereka masih kecil-kecil, itu situasi yang sangat berat,” ujarnya.
Besarnya trauma yang ditinggalkan membuat Erniati menjalani konseling untuk bisa pulih. “Saya juga harus ke konseling, ke psikiater ke psikolog, dan harus minum obat beberapa lama, anak-anak juga saya konselingin. Dampaknya keras banget. Anak saya yang pertama itu, kan dia sekolah di Kuta, dia dapat bintang kelas, tapi setelah kejadian ketika saya ajak pindah ke sini ternyata dia itu nggak bisa nulis, nggak kebaca,” kata dia membongkar memori lama.
Hingga pada 2003, ia memutuskan pergi ke Denpasar, bersama kelima rekannya mengikuti pelatihan dan belajar cara menjahit. Bermula dari sana Erni mulai mengumpulkan modal untuk membuka usaha garmen sendiri.
“Akhirnya saya kembali ke Denpasar, karena dikampung nggak tahu harus ngapain, saya memulai kerja bersama teman-teman yang juga sama nasibnya dengan kita, itu belajar jahit. Sampai akhirnya itu saya geluti terus, sampai akhirnya mendapatkan penghasilan. Sampai sekarang,” ujarnya.
Di tahun yang sama Erniati bersama lima keluarga korban lainnya juga membentuk sebuah wadah bagi para keluarga korban Bom Bali I yang mereka namakan Isana Dewata.
“Kita kasih nama Isana Dewata, Istri, Anak, Suami Dewata gitu, kami berkumpul. Itu awalnya cuma korban-korban tidak langsung, yang suaminya meninggal, yang istrinya meninggal sama anak-anak, kemudian berkembang kita gabung, udah dapat kan kontak-kontak korban langsung akhirnya kita ngumpul jadi satu. Di tahun 2016 kita sepakat nih, teman-teman Jakarta datang, kenapa kita nggak bikin satu, jadi jangkauannya lebih luas, terbentuklah YPI,” katanya.
Lebih lanjut ia berharap agar pemerintah senantiasa memberikan perhatian kepada para penyintas, sebab banyak di antara mereka yang memerlukan perawatan hingga seumur hidup. “Harapan kami agar pemerintah memperhatikan penyintas itu tidak hanya sampai disini (pemberian kompensasi), artinya berkelanjutan lah. Terutama untuk medis, karena teman-teman penyintas itu masih banyak yang perlu perawatan, bahkan sampai seumur hidup mereka,” kata Erniati.
Dalam kesempatan itu, Erniati juga menyampaikan upaya-upaya yang dilakukan penyintas untuk mencegah terjadinya serangan serupa dengan melakukan kampanye perdamaian.
“Kami penyintas juga tidak diam, tidak hanya pemerintah yang berusaha menahan agar tidak terjadi, tapi penyintas juga. Kami melakukan kampanye perdamaian bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai namanya di Jakarta. Kami datang ke sekolah-sekolah, bertemu dengan mantan pelaku untuk sebuah perdamaian," ujarnya.
Selanjutnya: Peristiwa Bom Bali