TEMPO.CO, Jakarta - Dua hari lalu, tepatnya 3 Agustus 24 tahun silam, mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi pada 7 yayasan yang didirikannya. Dia melakukan korupsi besar yang melibatkan penggunaan kekuasaan dan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi.
Namun setelah Soeharto lengser, upaya penegakan hukum terhadapnya masih belum tuntas, terutama pada kasus dugaan korupsi tujuh yayasan miliknya. Berikut kilas balik kasus dugaan korupsi tujuh yayasan Soeharto dan menyeret nama Keluarga Cendana.
Korupsi 7 Yayasan
Beberapa bulan setelah lengser pada 1998, Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana tujuh yayasan yang dikelola oleh Soeharto. Dia diduga terlibat korupsi pengelolaan dana tujuh yayasan sosial yang dipimpinnya sebesar Rp 1,7 triliun dan US$ 419 juta selama periode 1978-1998.
Adapun ketujuh yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Lembaga tersebut mengelola dana dari negara, seperti Yayasan Supersemar. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yayasan tersebut untuk dana pendidikan.
Namun, dana tersebut diduga diselewengkan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang masih terhubung dengan Soeharto. Hasil penelusuran Kejaksaan Agung menemukan bahwa kekayaan yayasan tersebut bernilai Rp 4,4 triliun.
Bantahan Soeharto
Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, "Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri." Pemerintah sempat menyatakan bahwa tuduhan korupsi Soeharto tidak terbukti, lalu menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan pada Oktober 1999.
Baru setelah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden kasus ini kembali dibuka. Kejaksaan resmi menetapkan Soeharto menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan pada 31 Maret 2000. Pada 13 April 2000, Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota. Pada Agustus 2000, perkara ini masuk ke persidangan.
Namun, Upaya menghadirkan Soeharto ke sidang selalu gagal dengan alasan sakit. Majelis Hakim akhirnya menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan.
Kejaksaan Agung terus menggugat
Gagal memidanakan Soeharto, Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk mengambil duit negara yang ada di yayasan tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu pada 27 Maret 2008.
Pengadilan mewajibkan Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebanyak Rp 46 miliar. Karena Soeharto sudah wafat, tanggung jawab pembayaran dialihkan kepada keturunannya atau yang kerap dikenal sebagai Keluarga Cendana.
Vonis itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mewajibkan keluarga mendiang Soeharto membayar Rp 185 miliar dengan kurs terbaru. Namun, putusan itu salah ketik dan hanya tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik membuat putusan tak dapat dieksekusi.
Pada Juli 2015, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan. Yayasan Supersemar diwajibkan mengganti duit negara sebanyak Rp 4,4 triliun.
Upaya Yayasan Supersemar melawan gugatan
Selain menggugat Soeharto, negara menggugat Yayasan Supersemar dalam kasus yang sama. Namun, Yayasan Supersemar berupaya melawan dengan mengajukan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2016.
PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu dengan menyatakan bahwa yayasan telah menyalurkan dana kepada yang berhak. Namun, MA menganulir keputusan tersebut pada Oktober 2018.
Bermodal putusan ini, Kejaksaan Agung mulai menyita duit dari yayasan. Pada akhir 2018, Kejaksaan melakukan penyitaan terhadap rekening yayasan yang berisi Rp 241,8 miliar. Kejaksaan juga menyita dua aset milik yayasan, yaitu Gedung Granadi dan Vila di Megamendung.
Mengenai penyitaan ini, kuasa hukum Keluarga Cendana, Erwin Kallo, angkat bicara. Ia mengatakan pemilik gedung itu bukan Keluarga Cendana saja. "Yang perlu diketahui Gedung Granadi itu bukan milik Yayasan Supersemar. Seharusnya dia (PN Jakarta Selatan) cari tahu gedung itu pemiliknya berapa orang dan siapa saja," ujar Erwin saat dihubungi, Senin, 19 November 2018.
KAKAK INDRA PURNAMA | M ROSSENO AJI | KORAN TEMPO | ICW
Pilihan editor: Hari Ini 24 Tahun Silam Mantan Presiden Soeharto Ditetapkan Jadi Tersangka Dugaan Korupsi