INFO NASIONAL - Sejumlah dosen pangan dan kimia dari perguruan tinggi menyebutkan bahwa air minum dalam kemasan (AMDK) menggunakan galon polikarbonat (PC) masih aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Prof. Dr. Hardinsyah, guru besar dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB) menegaskan BPA yang ada pada bahan galon PC itu tidak akan berbahaya kalau tidak melebihi batas migrasi yang telah ditetapkan BPOM. “Dan kalau dilihat history-nya, tidak ada migrasi BPA pada galon PC itu yang melebihi batasan BPOM selama ini,” ujarnya.
Terkait pelabelan, menurutnya, itu fungsinya hanya untuk mendidik konsumen dan produsen agar memperlakukan semua kemasan pangan itu sesuai aturan. “Itu sama saja seperti kandungan gula garam, lemak yang tertera pada label pangan. Jadi, itu memberikan edukasi saja dan semua jenis kemasan pangan seharusnya diberi label,” kata Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) IPB.
Tapi, menurut Hardinsyah, harus dilakukan dengan kajian yang kuat. “Jadi sebenarnya lagi-lagi edukasi. Nah, ini pentingnya mengedukasi masyarakat lebih detail dan jangan justru ditakut-takuti,” ucapnya.
“Yang sebenarnya, kajian itu harus dilakukan secara menyeluruh. Karena, tidak bisa kajian di sebagian tempat saja membuat kesimpulan bahwa itu representatif dari seluruh kemasan itu.”
Pendapat serupa disampaikan Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Dr. Nugraha E. Suyatma, yang meyakini produk AMDK sebelum diedarkan sudah diuji terlebih dulu residu BPA-nya. Migrasinya juga sudah dites dulu oleh pabriknya dan sudah memiliki standar keamanan pangan. “Jadi, air galon berbahan polikarbonat itu relatif aman untuk digunakan,” tuturnya.
Ia berpendapat pelabelan BPA mestinya tidak sebatas pada galon PC. “Karena agak kurang fair. Plastik itu kan hampir semuanya ada bahayanya,” katanya. Dia lebih setuju jika BPOM lebih meningkatkan pengawasan di pre-marketnya saja. Sebab, dalam peraturan BPOM, batas migrasi zat-zat kimia berbahaya dalam kemasan pangan itu sudah diatur.
Nugraha sekali lagi menekankan, kata kuncinya di level batasan migrasinya. Kalau masih di bawah batasan maksimum migrasinya, itu artinya masih aman digunakan. Tapi, kalau batasan migrasinya di atas, itu tidak boleh dipakai. “Intinya, yang mesti dikedepankan itu adalah pengawasan pre-market,” tuturnya.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, mempertanyakan kewajiban pelabelan BPA ini. “Saya menanyakan ini karena akan membuat bingung juga bagi masyarakat. Saya khawatir kebijakan ini justru akan membuat masyarakat bisa dehidrasi karena ditakut-takuti dengan adanya pelabelan ini, terutama masyarakat yang sudah terbiasa mengonsumsi air dari kemasan PC,” kata dia.
“Karena sebagian masyarakat itu kan sudah terbiasanya minum air galon PC yang sudah dianggap aman untuk kesehatan. Saya setuju pemerintah melakukan pengawasan pengamanan supaya masyarakat terlindungi. Tapi, ya jangan diskriminatiflah.”
Dia juga mempertanyakan kebijakan BPOM yang hanya mewajibkan pelabelan BPA di galon PC saja. “Kenapa kemasan-kemasan lain seperti kemasan makanan kaleng yang juga mengandung BPA tidak ikut dilabeli juga. Tidak hanya yang ber-BPA, seharusnya galon PET dan lain-lain yang mengandung zat-zat kimia berbahaya juga, kenapa tidak dilabeli juga?” katanya.
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno, dosen dan profesor yang menekuni bidang Food Process and Engineering Laboratory di Institut Pertanian Bogor (IPB) juga menyampaikan regulasi BPOM terkait pelabelan BPA pada galon PC itu terkesan menakut-nakuti masyarakat.
“Itu kan akan berpengaruh terhadap aspek psikologis masyarakat yang menjadi takut mengonsumsi air galon PC itu. Padahal, airnya aman-aman saja kalau dikonsumsi,” katanya.
Menurutnya, dengan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan saja sebenarnya sudah cukup untuk mengawasi keamanan kemasan pangan dan tidak perlu diatur lagi di pelabelannya.
“Di situ kan sudah jelas-jelas diatur mengenai batas migrasi amannya. Termasuk BPA di kemasan PC juga sudah jelas diatur di sana. Jadi, ngapain lagi dilabeli. Kan cukup diawasi saja,” tutur Purwiyatno.
Menurut dia, jika kemasan pangan itu tidak memenuhi persyaratan pasti akan dicabut dari peredarannya, tidak lagi diperlukan pelabelan. “Nah, kalau BPOM menemukan adanya migrasi BPA yang melebihi batas aman, kenapa produknya tidak ditarik saja, kenapa hanya dilabeli? Ini kan aneh jadinya,” cetusnya.
Dia mengatakan pemberian label pada galon PC itu maksudnya tidak jelas. “Sebagai manajer resiko, BPOM menetapkan dengan memberikan label itu maksudnya gimana? Kalau sudah label itu kemudian masyarakat jangan membeli atau jangan mengkonsumsi atau gimana, itu kan perlu dipertanyakan,” ucapnya.
Dosen sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin, mengatakan adanya diskriminatif pada regulasi BPOM terkait pelabelan BPA yang hanya diberlakukan hanya kepada galon PC saja. Padahal, menurutnya, semua kemasan pangan mengandung zat kimia berbahaya.
“Untuk tidak terkesan diskriminatif, BPOM lebih baik menggunakan istilah food grade saja pada semua jenis kemasan pangan tanpa terkecuali. Karena, istilah itu sudah mencakup bahwa semua elemen kimia yang berbahaya pada kemasan itu aman digunakan. Jadi, lebih meng-cover semuanya,” ujar Zainal.
Dia menegaskan sebagai pengawas obat dan makanan terhadap masyarakat, BPOM seharusnya melaksanakan fungsinya dengan baik dan tidak diskriminatif. “BPOM kan harus menjamin keadilan dan mencerdaskan masyarakat. Kan kewajiban pemerintah, kewajiban negara itu untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat,” ucapnya.
Dia juga berharap berita-berita yang terkait galon PC harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan. “Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” ujarnya.
Salah satu penelitian yang dilakukan terhadap galon-galon air minum dalam kemasan yang beredar di Kota Makassar menunjukkan bahwa migrasi BPA masih jauh di bawah batas aman yang ditetapkan BPOM. Penelitian ini dilakukan baik terhadap galon polikarbonat yang tidak terjemur maupun yang terjemur sinar matahari.
Penelitian berjudul “Analisis Bisphenol A dan Di-ethylhexyl Dalam Air Galon Yang Beredar di Kota Makassar” yang hasilnya dimuat pada Food Scientia, Journal of Food Science and Technology Universitas Terbuka pada Juni 2023 ini dilakukan empat orang peneliti, yaitu Endah Dwijayanti, Rachim Munadi, Sri Wahyuningsih dari Program Studi Kimia Universitas Islam Makassar (UIM) dan Iffana Dani Maulida dari Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Terbuka.
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Dwiana Andayani, baru-baru ini juga memastikan galon PC masih aman digunakan untuk air minum dalam kemasan (AMDK). Yang penting, katanya, masyarakat juga perlu diedukasi untuk memperlakukan semua jenis galon—baik galon PC maupun galon PET—dengan baik. “Jadi, galon PC masih aman digunakan,” ujarnya. (*)