TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) akan menggelar sidang etik kepada salah satu dosennya, Zainul Maarif. Hal ini dikarenakan Zainul menjadi satu dari lima nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU) yang mengunjungi Presiden Israel Isaac Herzog.
“Unusia akan menggelar sidang etik terhadap saudara Zainul Maarif untuk mempertanggungjawabkan aktivitas yang bersangkutan,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Unusia Dwi Putri melalui keterangan di Jakarta, Senin, 15 Juli 2024.
Menurut Dwi, sidang etik dilakukan lantaran kunjungan tersebut berdampak langsung bagi reputasi Unusia dan bertentangan dengan dengan nilai-nilai yang dianut. Dia juga menekankan kunjungan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya terhadap Unusia sebagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
“Pertemuan saudara Zainul Maarif dengan Presiden Israel adalah aktivitas individual dan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan Unusia sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan perkumpulan Nahdlatul Ulama yang menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia,” ujarnya.
Diketahui, Zainul Maarif adalah adalah seorang Profesor Madya Filsafat di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Unusia memiliki visi untuk menjadi universitas unggul berkarakter Ahlussunnah Wal Jamaah An-nahdliyah.
Lantas, bagaimana sejarah Uusia yang bakal gelar sidang etik karena dosen bertemu Presiden Israel? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Sejarah Universitas Nahdlatul Ulama
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) merupakan perguruan tinggi di lingkungan organisasi masyarakat keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat. Unusia memiliki total enam fakultas dan 16 program studi yang menyelenggarakan program pendidikan dari jenjang sarjana, pascasarjana, hingga doktoral.
Beberapa fakultas di Unusia juga menyelenggarakan program internasional, baik untuk jenjang sarjana maupun pascasarjana. Adapun enam fakultas di Unusia adalah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Islam Nusantara, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, serta Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer.
Unusia merupakan salah satu wujud pengembangan pendidikan yang menjadi prioritas dalam organisasi NU. Sejak berdiri pada tahun 1926, NU telah mendirikan berbagai macam satuan pendidikan, seperti Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mulallimin Wustha, dan Ulya. NU juga telah melibatkan diri secara intensif dalam berbagai perumusan kebijakan pendidikan yang berbasis masyarakat.
Untuk mengembangkan pendidikan tinggi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1998 membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (YPTNU) melalui SK PBNU Nomor 929/A.II.03/6/1998. Pada 1999, yayasan itu bekerja sama dengan para tokoh NU merencanakan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) yang bertaraf internasional.
Gagasan besar itu kemudian mulai diwujudkan secara bertahap dengan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) pada 2003. Pada 2010, berdasarkan hasil rapat pleno di Wonosobo, PBNU mewajibkan pengelolaan perguruan tinggi langsung menggunakan badan hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama membubarkan diri dan seluruh aset yayasan, termasuk STAINU Jakarta, dikelola langsung oleh Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
Dalam penyelenggaraan perguruan tinggi, PBNU membentuk Badan Pelaksana Penyelenggara Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama. Lembaga ini menjadi kepanjangan tangan dari Perkumpulan Nahdlatul Ulama dalam menjalankan tugas teknis penyelenggara pendidikan yang mengusahakan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta.
Pada 2015, Izin Penyelenggaraan Universitas diberikan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 557/E/O/2014 dengan 10 (sepuluh) program studi.
Melalui Rekomendasi Kementerian Agama RI dan Rekomendasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, maka pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan Surat Keputusan penggabungan STAINU Jakarta ke Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia pada 2016.
Melalui SK Dirjen Diktis No. 4814 Tahun 2017 tentang Izin Perubahan Nama Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Jakarta menjadi Fakultas Agama Islam pada Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, maka STAINU Jakarta resmi menjadi Fakultas Agama Islam pada Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Dengan penggabungan tersebut, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia mengelola 16 Program Studi.
RADEN PUTRI
Pilihan Editor: PSI Buka Suara soal Gugatan ke MahKamah Konstitusi untuk Menjegal Kaesang Maju Pilgub