TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesia Corruption Watch melaporkan dugaan korupsi penggunaan upah pungut pajak daerah di Departemen Dalam Negeri tahun 2001-2008 sebesar Rp 79 miliar. Jumlah tersebut antara lain digunakan untuk dana operasional atau dana taktis yang digunakan oleh Menteri Dalam Negeri dan pejabat esselon I Depdagri
“Dana tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak wajar atau tidak patut, tidak sah, dan tidak didukung dengan bukti-bukti pertanggungjawaban serta terjadi penyalahgunaan,” ujar Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo usai pelaporan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis siang (23/7).
Dalam laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, ICW menyertakan data penerimaan bagi Mendagri dan pejabat Esselon I Depdagri tahun 2003 senilai Rp 3,95 Milyar. Penerimaan itu, menurut ICW berasal dari Dana Penunjang Pembinaan yang tersimpan dalam rekening Tim Pembina Pusat. Penerimaan itu, tambah Adnan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Data yang diperoleh ICW memperkuat kesimpulan, pada tahun 2003 saja, Mendagri dan pejabat di lingkungan Depdagri diduga telah menerima dana DPP untuk keperluan yang tidak dapat diketahui dengan pasti,” ujar Adnan.
Dalam data ICW berupa kwitansi penerimaan dana taktis dan operasional disebutkan , bahwa pada tahun 2003, Mendagri Hari Sabarno memperoleh penerimaan Rp 2,2 Milliar hanya dalam jangka waktu Sembilan bulan. Tidak hanya itu, Sekjen Depdagri, Siti Nurbaya juga diduga menerima Rp 550 juta, Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi menerima Rp 550 juta, Inspektorat Jenderal Depdagri H. Sarundajang Rp 300 juta.
Dalam data itu juga disebutkan, Sesditjen Bina Bangda Suhatmasnyah Rp 75 Juta, Kepala Badan Diklat Depdagri Sudarsono Rp 75 juta, Kepala Bagian Keuangan Litbang Depdagri Perwira T. menerima Rp 37,5 juta, Rektor Institute Ilmu Pemerintahan (IIP) Ngadisah menerima Rp 37,5 juta dan Staf Ahli Menteri Bidang Administrasi Pembangunan menerima Rp 125 juta.
Kisruh upah pungut ini bermula dari keluarnya Kepmendagri Nomor 27, Nomor 35, dan Nomor 36 Tahun 2002 tentang pedoman alokasi biaya pemungutan pajak daerah yang ditandatangani oleh Hari Sabarno. Dalam aturan tersebut diatur beberapa define yang terkait dengan pemungutan untuk aparat pemungutan dan aparat penunjang.
Sayangnya, Kepmendagri tersebut terindikasi sebagai bentuk legalisasi terhadap pungutan liar oleh Mendagri. Dugaan ini, menurut ICW semakin diperkuat dengan sistem pengelolaan dan DPP yang disimpan dalam rekening khusus. Parahnya, rekening ini juga tidak dimasukkan sebagai penerimaan dalam APBN setiap tahunnya. “Demikian halnya dengan pertanggungjawaban dalam penerimaan dan pengeluaran dana DPP dipisahkan dari pertanggungjawaban APBN,” ujar Adnan.
Terbitnya Kepmendagri ini, juga menjadi dasar ICW untuk melaporkan adanya dugaan korupsi. Sebab, tambah Adnan, ketiga aturan tersebut melanggar dua dasar hukum yang lain, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban Negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan ke dalam APBN,” ujar Adnan.
Menurut ICW, tiga Kepmendagri itu juga melanggar Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2001. Sebab pada dasarnya, dalam aturan tersebut DPP hanya dilegalkan pengunaannya kepada Tim Pembina Pusat di Depdagri untuk kepentingan dan kegiatan yang tidak terkait dengan pemungutan pajak daerah. “Pada faktanya berdasarkan data yang kami sampaikan, peraturan tersebut melegalkan dana yang digunakan di luar kegiatan dan kepentingan pemungutan pajak daerah,” kata Adnan.
Laporan ICW tersebut disampaikan kepada petuga Pengaduan Masyarakat KPK bernama Indro. Dalam pelaporan tersebut, ICW juga memberikan rekomendasi agar KPK, dapat mengubah kebijakan melalui pendekatan pencegahan dengan memberikan saran pencabutan PP dan Kemendagri yang telah mengakibatkan timbulnya penyimpangan.
CHETA NILAWATY