TEMPO.CO, Jakarta - Pada Mei 1998 menjadi bulan yang punya sejumlah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pada saat itu, gelombang demonstrasi mahasiswa mulai merebak di berbagai kota besar di Indonesia, menuntut reformasi dan Soeharto lengser. Respons represif dari aparat keamanan hanya memperburuk situasi, memicu kemarahan publik. Tragedi Trisakti, di mana empat mahasiswa tewas ditembak selama demonstrasi, semakin memperhebat ketegangan.
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada waktu itu menjadi pemicu utama peristiwa tersebut. Nilai tukar rupiah anjlok, inflasi meroket, dan banyak perusahaan mengalami kebangkrutan. Kondisi ekonomi yang memburuk ini memperbesar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Namun, di balik keadaan genting ini, terdapat beberapa fakta yang kurang terkenal. Apa saja hal-hal tersebut?
1. Amerika Tau Soeharto akan Mundur
Dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi: Rangkaian Kesaksian" (2013), Salim Said menceritakan peristiwa lengsernya Soeharto. Dia mengklaim bahwa ia tidak mengetahui bahwa Soeharto akan mundur lebih cepat pada tanggal 21 Mei. Kabar tersebut justru diperolehnya dari rekannya di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, yaitu Profesor William Liddle. Said menerima panggilan telepon internasional sebelum subuh tiba, yang mengganggu tidurnya. Namun, di Amerika Serikat bagian timur, waktu masih sore, sekitar pukul 4 sore.
"Salim, apakah Soeharto benar-benar mundur? Di sini sudah tersebar berita bahwa Pak Harto akan mengundurkan diri pagi ini," tulis Salim Said menuturkan kembali percakapan dengan Liddle.
2. Soeharto ke Kairo Saat Krisis
Dampak dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Soeharto mulai muncul pada awal Mei. Pada 2 Mei 1998, mahasiswa di beberapa wilayah melakukan demonstrasi untuk menuntut reformasi. Namun, sejumlah protes tersebut berujung pada bentrokan karena ditanggapi secara keras oleh aparat keamanan.
Pada 4 Mei 1998, kerusuhan kembali meletus di Medan, Sumatera Utara, yang menyebabkan setidaknya 6 orang meninggal dunia. Selanjutnya, pada tanggal 7 Mei, terjadi Peristiwa Cimanggis di mana aksi demonstrasi mahasiswa kembali dihadapi dengan kekerasan oleh aparat. Sehari setelahnya, pada tanggal 8 Mei 1998, terjadi Peristiwa Gejayan atau Tragedi Yogyakarta. Peristiwa ini dimulai ketika mahasiswa meminta Soeharto untuk mundur, tetapi berakhir dengan kejadian berdarah.
Di tengah keadaan genting itu, pada tanggal 9 Mei 1998, Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Situasi di Indonesia saat itu digambarkan sebagai delman yang ditinggalkan kusir, dengan kusirnya, Soeharto, pergi ke Kairo, Mesir. Kepulangannya dari Kairo menjadi perjalanan terakhirnya ke luar negeri sebagai kepala negara.
3. BJ Habibie Sempat Diragukan Kewibawaannya sebagai Presiden
Saat krisis melanda dan Monas ditutup dari segala penjuru, Salim Said menerima telepon dari staf Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Ia diminta hadir pada tanggal 20 Mei pukul 19.00 dalam sebuah rapat di Gedung Urip Sumohardjo di Kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jalan Merdeka Barat.
Dalam rapat tersebut, dibahas kemungkinan Soeharto mundur dan siapa yang akan menggantikannya. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Wakil Presiden B.J. Habibie harus naik menjadi presiden. Dalam tulisannya, Salim Said menyebutkan bahwa B.J Habibie sempat diragukan kewibawaannya sebagai seorang Presiden. Meskipun begitu, aturan tetap harus diikuti.
4. Usai Lengser Soeharto Mengurung Diri di Cendana
Pada Senin, 4 Februari 2008, setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden, Soeharto lebih sering menyendiri di kediamannya di Cendana. Ia jarang sekali menerima tamu, meskipun banyak petinggi militer dan kerabat berusaha untuk menemuinya. Soeharto tampaknya memilih untuk menarik diri dari kehidupan publik, menghabiskan waktu dalam kesendirian di rumahnya. Keadaan ini mencerminkan perubahan besar dalam kehidupan seorang mantan pemimpin yang dulu memiliki kekuasaan absolut dan menjadi pusat perhatian.
5. Juli 1998 Soeharto Mengumpulkan keluarga Cendana
Pada Juli 1998, Soeharto mengumpulkan keluarganya di Puri Retno, Anyer, Banten. Setelah makan di pinggir pantai, Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya untuk menerima situasi yang sulit dengan tabah. Ia menjelaskan bahwa ini adalah konsekuensi dari pengunduran dirinya sebagai presiden. Soeharto menekankan bahwa pengunduran diri tidak berarti bahwa hujatan akan mereda, justru sebaliknya. Ia meminta agar anak-anaknya tidak menanggapi situasi tersebut.
"Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat," kata Soeharto.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA I HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan Editor: Langkah-langkah Sebelum Soeharto Lengser, Apa Saja yang Dilakukannya?