TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan Mei 1998 jadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Dipicu goyahnya ekonomi Indonesia sejak awal 1998 akibat pengaruh krisis finansial Asia sejak 1997, gejolak tersebut mencapai puncaknya pada salah satu peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, yakni Tragedi Trisakti. Peristiwa itu menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang ketika itu menjadi bagian dari massa aksi demonstrasi.
Kala itu, sekitar pukul 12.30 aksi damai dilakukan dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara, tetapi massa aksi diblokade pasukan Polri dan militer. Negoisasi dengan aparat keamanan sempat dilakukan, namun pada 17.15 mahasiswa memutuskan bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan yang menghujani mahasiswa dengan tembakan.
Mahasiswa panik, berlarian dan berhamburan ke sembarang arah. Naasnya, pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta.
Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo, membantah pasukannya menggunakan peluru tajam dalam operasi pengamanan. Tetapi penyelidikan di lapangan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF berkata sebaliknya. Korban memang tewas karena tembakan peluru tajam. Diduga peluru tersebut berasal dari tembakan peringatan yang ditembakkan ke tanah dan memantul mengenai tubuh korban.
Baca juga:
Pengusutan Tragedi Trisakti
Berdasarkan catatan Tempo, pasca kejadian itu Trisakti membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang dipimpin Ady Andojo. Mereka mendorong adanya Panitia Khusus DPR untuk penuntasan kasus Tragedi Trisakti, serta mendorong dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia Ad-hoc.
Ketua Senat Mahasiswa Trisakti saat itu, Julianto Hendro Cahyono Hendro, juga membentuk Paguyuban Persaudaraan Trisakti 1998 pada 2001 untuk memperjuangkan penuntasan kasus itu. Paguyuban itu juga hingga kini terus bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Trisakti untuk setiap tahunnya menyelenggarakan kegiatan guna mengingatkan bahwa kasus Trisakti belum selesai. Capaian yang berhasil mereka raih adalah diakuinya empat mahasiswa korban Tragedi Trisakti sebagai pejuang reformasi.
Eks Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani menuturkan pengusutan kasus Trisakti mandek pada 2008 setelah mengalami empat kali bolak balik berkas antara Komite Nasional Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung.
Yati menyebutkan Jaksa Agung menyatakan lemahnya penyelidikan Komnas HAM atas tragedi Trisakti terletak pada beberapa hal, misalnya syarat formil seperti sumpah jabatan penyelidik dan syarat membuat berita acara, serta syarat materiil seperti pemeriksaan terhadap saksi militer, yakni TNI dan Polisi.
Berdasarkan catatan Kontras, sepanjang proses penyelidikan, para pensiunan dan perwira aktif menolak hadir dalam penyelidikan Komnas HAM, termasuk Timur Pradopo yang pernah mejabat Kepala Polri pada 2010.
Jaksa Agung juga berdalih tidak dapat melakukan penyidikan lantaran belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus tersebut. Padahal, menurut Yati, penyidikan bisa dilakukan sebelum adanya Pengadilan HAM ad hoc.
Selain itu, Yati menyebut alasan Jaksa Agung tidak bisa mengambil tindakan adalah lantaran digunakannya prinsip nebis in idem bahwa telah ada pengadilan militer terhadap prajurit berpangkat rendah pada tahun 1999 terkait kasus itu dan tidak adanya dukungan politk dari DPR. Rekomendasi pansus DPR pada 2001 sendiri menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti.
Kontras sempat berkomunikasi dengan pemerintah pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ihwal penyelesaian kasus ini. Namun, komunikasi itu hanya berakhir dengan bantuan kemanusiaan yang ditawarkan oleh pemerintah untuk keluarga korban. "Kesalahan belum dibuktikan, kenapa malah memberikan bantuan?"
Pada era Joko Widodo atau Jokowi, Yati malah menilai penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu justru mengalami kemunduran. Sebab, ia mengatakan sang presiden justru menyerahkan penyelesaian kasus-kasus itu kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang disebut berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM, salah satunya tragedi Trisakti. "Kenapa malah diserahkan ke Menkopolhukam?" ujar dia, kepada Tempo pada 12 Mei 2018. Seperti diketahui saat peristiwa Trisakti terjadi, Wiranto menjabat Panglima TNI
Seperti diketahui saat peristiwa Trisakti terjadi, Wiranto menjabat Panglima TNI. Penyelidikan terhadap Tragedi Trisakti menyeret enam terdakwa dari perwira pertama Polri yang menerima vonis pada 31 Maret 1999 dengan hukuman 2-10 bulan penjara.
Meski demikian, hal itu masih menimbulkan ketidakpuasan dari mahasiswa dan keluarga korban. Komnas HAM kemudian merespons dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM). Pada 2002, sembilan terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer dan menerima hukuman 3-6 tahun penjara. Sudah genap 26 tahun Tragedi Trisakti berlalu dan penyelesaiannya masih belum mengalami titik temu.
HATTA MUARABAGJA | HENDRIK KHOIRUL MUHID | CAESAR AKBAR
Pilihan Editor: Menolak Lupa Tragedi Trisakti 1998, Mereka Tewas Ditembak di Dalam Kampus