Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan RUU Penyiaran mengancam kreativitas di ruang digital. Sebab, draft tersebut berupaya membuat konten digital patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan televisi konvensional. Padahal, medium dan teknologi di antara dua platform tersebut jelas berbeda. "Sehingga tidak tepat," kata Yovantra.
Remotivi, kata dia, juga meminta agar Pasal 56 yang mengatur ihwal kelayakan isi siaran dihapus. Sebab, larangan-larangan yang termuat pada pasal ini berpotensi mengekang hak publik untuk memperoleh konten yang ekslusif dan beragam. "Publik memiliki hak untuk memperoleh tayangan yang eksklusif tanpa dikekang," ucapnya.
Adapun draft RUU Penyiaran yang diperoleh Tempo berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal. Komisi I DPR selaku alat kelengkapan dewan yang membahas RUU tersebut menargetkan pembahasan rampung sesegera mungkin.
Anggota Komisi I, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, mengatakan, revisi UU Penyiaran merupakan hal yang penting untuk menjaga bangsa tidak terpapar konten-konten negatif. Menurut dia, isi siaran layanan media streaming digital yang menjamur saat ini kerap memuat konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.
Sehingga, aturan ihwal isi siaran mesti diberlakukan. Sebab, selama ini konten-konten tersebut dapat menjamur karena tidak adanya aturan yang mengatur. "Karena sebenarnya ini penting, pemerintah itu harus memiliki otoritas kedaulatan terhadap hal-hal seperti ini untuk bangsa," kata Dave.
Pilihan Editor: KIP Kuliah Jalur Aspirasi Anggota DPR Dinilai Tak Tepat, Stafsus Presiden Sarankan Ini