TEMPO.CO, Jakarta - Wacana mengenai penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 dalam pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto mendatang menjadi topik perbincangan publik dalam beberapa hari terakhir. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menganggap penambahan kementerian sebagai hal wajar karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak.
Namun dia mengklaim ide itu muncul bukan untuk mengakomodasi kepentingan partai politik pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
Wacana tersebut mendapat tanggapan berbeda dari berbagai kalangan. Berikut pendapat mereka.
1. Mahfud Md: Tambah Menteri Lagi, Kolusinya Semakin Meluas
Mantan calon wakil presiden Mahfud Md menyoroti wacana penambahan jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo. Menurut dia, semakin banyaknya jumlah kementerian, bisa jadi karena tuntutan akibat bagi-bagi kekuasaan yang terlalu besar setelah pemilu.
“Setelah Pemilu menang, karena terlalu banyak (pihak) yang dijanjikan (dapat kursi kekuasaan), menteri-menteri jadi diperluas lagi,” kata Mahfud saat menjadi pembicara seminar nasional ‘Pelaksanaan Pemilu 2024: Evaluasi dan Gagasan ke Depan’ di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu, 8 Mei 2024.
Mahfud menuturkan jumlah kementerian di Indonesia dari era ke era semakin banyak.
“Dulu kan 26 menteri, sekarang jadi 34 menteri, besok pemilu yang akan datang ditambah lagi jadi 60, tambah (menteri) lagi kolusinya semakin meluas dan negara bisa rusak,” kata Mahfud.
“Padahal di Amerika saja hanya ada 14 menteri, lalu sisanya dibagi ke dirjen (direktorat jenderal) yang dikelompok-kelompokkan begitu,” ujarnya menambahkan.
Dalam kajiannya bersama asosiasi pengajar hukum tata negara pada 2019, Mahfud mengatakan telah merekomendasikan jumlah pos kementerian dipangkas agar efektif.
“Saat itu kami di asosiasi mengatakan bahwa pos kemenko (kementerian koordinator) dihapus, karena tidak ada gunanya,” kata dia. “Tapi karena saat itu (pasca Pemilu 2019) susunan kabinet sudah disusun, kami perhalus bahasannya kemenko tidak harus ada sesuai undang-undang, tapi semangatnya bukan terus bagi-bagi kekuasaan begitu.”