TEMPO.CO, Jakarta - Pada 21 April adalah Hari Kartini yang memperingati emansipasi wanita. Perjuangan RA Kartini sebagai pahlawan nasional wanita selalu disorot pada hari ini. Namun tak banyak orang tahu bahwa sosok kakak kandung Kartini, Sosrokartono juga patut diapresiasi.
Sama seperti sang adik, Sosrokartono juga memiliki peran penting dalam perjuangan dan emansipasi wanita di Indonesia. Meski tidak sepopuler Kartini, semangat dan jasanya patut diapresiasi. Dilahirkan pada 10 April 1877 dari pasangan Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat dan Nyai Ajeng Ngasira, Sosrokartono tumbuh dalam keluarga bangsawan yang memfasilitasi pendidikannya.
Ia menempuh pendidikan di Europse Lagress School (ELS) Jepara dan Hogere Burger School (HBS) Semarang sebelum melanjutkan studi ke Belanda. Di sana, ia memilih belajar di Universitas Leiden, menekuni Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Dalam ujian akhirnya, ia menulis karangan dalam bahasa Jerman.
Pendidikan Sang Polyglot
Sosok Sosrokartono yang cerdas dikenal sebagai polyglot. Ia mahir dalam 26 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Kemampuannya dalam berbagai bahasa membuatnya dijuluki "Si Jenius dari Timur" oleh orang Eropa.
Pada 1899, ia bahkan diundang untuk menghadiri kongres bahasa dan sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, di mana ia menyampaikan pidatonya untuk memberikan pengajaran bahasa Belanda kepada rakyat Indonesia.
Tidak puas berkarier di bidang jurnalistik, Sosrokartono juga menjadi kepala juru ahli bahasa di Volkenbond atau Liba Bangsa-Bangsa di Jenewa dan atase kebudayaan untuk Kedubes Perancis di Den Haag. Kepintaran bahasa yang dimilikinya membawa kakak Kartini itu pada peran-peran mulia bagi pengetahuan rakyat Indonesia. Hal itu terbukti dari keahliannya dalam menguasai 36 bahasa, 10 bahasa daerah dan 26 bahasa asing. Kemampuan banyak bahasa ini disebut polyglot. Saking cerdasnya, orang Eropa menjulukinya sebagai Si Jenius dari Timur.
Pada 1919, Sosrokartono menjadi penerjemah tunggal di Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian menjadi PBB pada 1921. Bahkan, ia menjadi ketua penterjemah untuk segala bahasa, mengungguli para polyglot Eropa dan Amerika. Selain itu, ia pernah menjadi koresponden untuk surat kabar The New York Herald dan diberi pangkat Mayor oleh Sekutu karena perannya sebagai wartawan perang.
Setelah kembali ke Indonesia pada 1925, Sosrokartono mendirikan rumah pengobatan dan sosial bernama Darrusalam pada 1927. Rumah ini bertujuan untuk membantu kaum menengah ke bawah.
Menjadi Wartawan Perang
Tak hanya cerdas luar biasa, Sosrokartono juga dikenal atas kariernya sebagai wartawan perang. Pada pekerjaannya ini, ia telah memberikan kontribusi besar dalam dunia jurnalistik.
Ketika berada di Belanda, ia menjadi koresponden untuk surat kabar Bandera Wolanda, menulis tentang Budhisme. Pada 1914, saat Perang Dunia I meletus, Sosrokartono bergabung sebagai wartawan perang pada The New York Herald Tribune, sebuah media ternama di Amerika, karya-karyanya pun semakin terkenal melalui surat kabar tersebut.
Sosrokartono juga menjalani peran yang penting di Volkenbond atau Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa sebagai kepala juru bahasa, serta sebagai atase kebudayaan untuk Kedubes Prancis di Den Haag.
Meskipun memiliki prestasi gemilang, Sosrokartono mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, terutama saat terlibat dalam isu penaklukan Aceh bersama Snouck Hurgronje. Hal ini menyebabkan tekanan batin yang berat baginya.
Ia akhirnya mengalami sakit yang parah serta kelumpuhan sejak 1942. Kondisinya tidak kunjung membaik, dan akhirnya ia meninggal dunia pada usia 74 tahun pada 8 Februari 1952, setelah melalui perjuangan hidup yang penuh dengan kesulitan.
Sosrokartono kemudian mengabdikan sisa hidupnya di Rumah Pengobatan dan Sosial Darrusalam, menunjukkan dedikasinya dalam melayani masyarakat.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | NAOMY AYU NUGRAHENI I RISMA DAMAYANTI
Pilihan Editor: Selain RA Kartini, Ini Peran Besar 2 Sosok Perempuan Tangguh Lain dari Jepara