Ika mencatat, sekitar 813 cuitan menyebut kata 'Prabowo', 764 cuitan menyebut 'Gibran', 658 cuitan menyebut 'Anies', 603 menyebut 'Ganjar', 398 menyebut 'Mahfud', 243 menyebut 'Muhaimin', dan 118 menyebut 'Amin'. Dibanding kesemua nama tersebut, kata dia, kata presiden jauh lebih banyak disebut dengan 1,900 cuitan.
“Meski yang menyebut kata Prabowo lebih banyak dibanding Gibran, namun saat kami observasi cuitan yang bernada khawatir lebih banyak ke Gibran ketimbang Prabowo,” tegas Ika.
Dia melanjutkan, hasil analisis emosi pengguna X menunjukkan bahwa emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut lebih dominan dengan 56,95 persen. Sedangkan emosi positif seperti senang dan cinta hanya 43,05 persen.
"Jadi dapat dikatakan bahwa pengguna X lebih cenderung khawatir dibandingkan merasa senang atau bahagia," tutur Ika.
Kekhawatiran Terhadap Nepotisme
Peneliti Data & Democracy Research Hub, Bimantoro Kushari, mengatakan konten dengan sentimen negatif berpusat pada kekhawatiran dan kemarahan terhadap praktik nepotisme dalam Pilpres 2024. Dia menuturkan, kekhawatiran ini utamanya pada praktik nepotisme akan terus berjalan turun temurun dalam keluarga Gibran.
Pengguna X, lanjut dia, mengekspresikan tradisi nepotisme ditakutkan mengganggu sistem demokrasi di Indonesia. “Jadi yang ditakutkan sebenarnya bukan Gibrannya, tapi kemunculan nepotisme dan politik dinasti,” tutur Bimantoro.
Dia melanjutkan, kekhawatiran utama masyarakat adalah kultus personal. Ini adalah suatu konsep di mana dalam masyarakat berfokus pada aspek aspek personal dibandingkan ideologi atau gagasan.
Bimantoro menjelaskan, kultus personal pada Pilpres 2014 dan 2019 membuat masyarakat terbelah antara mendukung Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Kultus personal pada masa itu, kata dia, mengakibatkan gejolak sosial hingga menewaskan orang dalam kerusuhan hasil pilpres.
Pilihan Editor: Dosen Universitas Cambridge Jelaskan Dugaan Penjiplakan Artikel Ilmiahnya oleh Dosen ITPLN