TEMPO.CO, Jakarta - Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat memberikan dissenting opinion alias pendapat berbeda dalam sengketa pilpres 2024, di mana mantan paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menjadi pemohon. Salah satu poin dissenting opinion mereka adalah meminta pemungutan suara ulang atau PSU di sejumlah daerah.
Saldi, Enny, dan Arief memiliki pendapat berbeda dengan lima hakim konstitusi lain, yaitu Suhartoyo, Arsul Sani, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur yang menolak dalil pemohon untuk keseluruhan.
Berikut adalah rangkuman dissenting opinion Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat mengenai PSU:
1. Saldi Isra
Saldi dalam sidang kemarin menuturkan, dalil pemohon mengenai bantuan sosial atau bansos adalah beralasan menurut hukum. Selain itu, dia menilai dalil soal mobilisasi aparat, aparatur negara atau penyelenggara negara beralasan menurut hukum.
"Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," kata Saldi di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 22 April 2024.
Pada bagian pertimbangan sebelumnya, Saldi menyebut telah membaca keterangan Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu dan fakta persidangan, serta mencermati alat bukti para pihak.
Atas hal itu, dia menemukan masalah netralitas penjabat atau Pj. kepala daerah dan pengerahan kepala desa di sejumlah provinsi. Yaitu, Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimatan Barat, dan Sulawesi Selatan.
2. Arief Hidayat
Arief menuturkan, berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum, telah terjadi pelanggaran pada pilpres 2024 yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif. Ini melibatkan intervensi kekuasaan presiden dengan infrastruktur politik yang berada di bawahnya untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Dia menilai, hal tersebut mencederai konstitusionalitas dan prinsip keadilan pemilu (electoral justice) yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
"Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memulihkan prinsip keadilan Pemilu pada kedudukannya semula (restorative justice) dengan cara melakukan pemungutan suara ulang di beberapa wilayah yang diyakini telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif," ujar Arief dalam sidang di Gedung MK, kemarin.
Menurut Arief, wilayah di mana terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif tersebut adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Arief menyebut pemungutan suara ulang di enam provinsi itu tetap diikuti oleh tiga pasangan calon, yakni Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Dengan demikian, hakim konstitusi ini menilai permintaan pemohon untuk diskualifikasi Prabowo-Gibran atau hanya Gibran saja tidak tepat.
3. Enny Nurbaningsih
Sama seperti Saldi dan Arief, Enny mengatakan dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, harus dilakukan PSU.
"Oleh karena diyakini terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas," ucap Enny dalam sidang.
Pada dissenting opinion-nya, Enny salah satunya mengulas dalil pemohon mengenai ketidaknetralan Pj. kepala daerah di Kalimantan Barat, Jawa tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Enny menyebut, Bawaslu telah memeriksa sejumlah laporan di empat provinsi tersebut. Tapi, dia menyoroti kinerja lembaga tersebut yang kurang optimal.
Pilihan Editor: Dissenting Opinion 3 Hakim MK Dipuji Ganjar, Mahfud Md, dan PDIP