TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan menolak permohonan Ganjar Pranowo dan Mahfud Md secara keseluruhan atas sengketa pilpres. Dalil-dalil mantan paslon nomor urut 03 itu ditolak oleh hakim konstitusi.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan perkara 2/PHPU.PRES/XXII/2024, di mana Ganjar-Mahfud menjadi pemohon, bertalian dengan perkara nomor 1 di mana pemohonnya adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sebab, berasal dari satu peristiwa hukum yang sama, yaitu pelanggaran pilpres 2024.
"Sehingga pertimbangan hukum di dalam kedua perkara tersebut saling berkaitan dan berkelindan," ucap Suhartoyo.
Dengan demikian, kata dia, pertimbangan hukum antara perkara 1 dan 2 tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
"Oleh karena itu, jika terdapat pertimbangan hukum yang terkesan duplikasi atau redundansi, hal tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh Mahkamah," tutur Suhartoyo.
Dalil-dalil Ganjar dan Mahfud yang Dimentahkan MK
Suhartoyo menuturkan, dalil pemohon mengenai Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu alias DKPP tidak mengindahkan putusannya sendiri adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Dalil pemohon mengenai anggapan adanya ketidakefektifan dan ketidaknetralan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) dalam menegakkan hukum pemilu pada pilpres 2024 juga tidak beralasan hukum," ungkap Suhartoyo.
Dia melanjutkan, dalil pemohon mengenai ketidakefektifan dan keberpihakan instrumen penegak hukum pemilu, yakni Bawaslu dan DKPP, adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Dalil pemohon yang menyatakan intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil dugaan ketidaknetralan termohon (KPU) dalam verifikasi dan penetapan pasangan calon--yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 02 (Prabowo-Gibran)--sehingga dijadikan dasar bagi pemohon untuk memohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi pihak terkait sebagai peserta pilpres 2024 adalah tidak beralasan menurut hukum," beber Suhartoyo.
Dia menuturkan, dalil tentang Presiden Joko Widodo melakukan abuse of power alias penyalahgunaan kekuasaan--dalam bentuk memanfaatkan APBN untuk menyelenggarakan program bansos yang dipolitisasi dengan tujuan mempengaruhi pemilih untuk memilih Prabowo-Gibran--tidak beralasan menurut hukum
Dalil pemohon tentang penyalahgunaan automatic adjustment atau blokir anggaran, kata Suhartoyo, tidak juga beralasan menurut hukum
"Dalil pemohon mengenai peningkatan pesat pembagian Bansos di masa pilpres 2024, Mahkamah juga berkesimpulan yang sama sebagaimana dipermohonan nomor 1, tidak beralasan menurut hukum," ujar Suhartoyo.
Hal yang sama berlaku untuk dalil politisasi pembagian bansos yang dilakukan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Menurut MK, dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.
"Dalil pemohon mendalilkan Presiden Jokowi menginstruksikan percepatan pencairan dana bantuan bansos agar bertepatan dengan proses pilpres 2024, berupa bantuan dampak fenomena El Nino mulai Januari 2024, Mahkamah berkesimpulan juga tidak beralasan menurut hukum," beber Suhartoyo.
Dia melanjutkan, berkaitan dengan penjangkaran di masyarakat lewat program bansos pada Prabowo-Gibran adalah pasangan calon yang didukung Presiden Jokowi, juga tidak beralasan menurut hukum.
Selanjutnya, kata dia, pemohon mendalilkan nepotisme yang dilakukan Jokowi dan melahirkan abuse of power yang terkoordinasi lewat kementerian negara dan pemerintah daerah, aparat keamanan dan Polri, TNI, aparatur desa, serta organisasi atau asosiasi tingkat nasional dan daerah.
"MK berpendapat dalil-dalil pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum," ucap Suhartoyo.
Dia melanjutkan, pemohon mendalilkan abuse of power baik di tingkat pemerintah pusat, daerah, dan desa yang melibatkan pejabat dan ASN di kementerian atau lembaga pemerintah, aparat keamanan Polri dan TNI, aparatur desa, serta organisasi tingkat nasional dan daerah dalam memberikan dukungan dan keberpihakan untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
"Mahkamah tidak yakin adanya pelanggaran pemilu dalam kegiatan tersebut, serta korelasinya dengan perolehan suara salah satu pasangan calon sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut," tutur Suhartoyo. "Dalil-dalil pemmohon a quo tidak beralasan menurut hukum."
Dia menuturkan, dalil pemohon soal nepotisme Jokowi yang melahirkan abuse of power terkoordinasi untuk memenangkan Prabowo-Gibran satu putaran pada pemerintah pusat dan seterusnya, tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, kata dia, terkait dengan pelanggaran prosedur pemilu, yakni mengenai siaran pers Bawaslu dalam konteks ini bukan hal yang harus dipermasalahkan lagi. Sebab, sepenuhnya merupakan tanggung jawab Bawaslu dan sebagian besar telah ditindaklanjuti.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum, menurut Mahkamah, dalil dari pemohon mengenai adanya pelanggaran prosedur pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo.
Pilihan Editor: Sekjen Gerindra Sebut Pertemuan Prabowo dan Megawati Tengah Mencocokkan Waktu