TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menegaskan bahwa Pengadilan Rakyat atau Mahkamah Rakyat perlu dilakukan guna memperbaiki proses Pilpres 2024 dan memastikan kelangsungan demokrasi di masa depan. Mereka menyoroti studi kasus di Asia Tenggara, yakni Pengadilan Rakyat pernah terjadi untuk menghadapi kecurangan di Pemilu ke-13 Malaysia pada 2013.
Menurut Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem, masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa praktik pemilu tidak menjadi bagian dari demokrasi yang cacat.
Aturan ini sesuai dengan Konstitusi Pasal 22E ayat 1 yang menegaskan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) setiap lima tahun. Pasal 22E ayat 5 juga menekankan pentingnya KPU sebagai pondasi dan lembaga nasional penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Yang harus kita pastikan bukan hanya Pemilu yang reguler, tetapi juga Pemilu yang autentik, Pemilu yang genuine, Pemilu yang luber jurdil tadi,” ujar Titi, dalam diskusi bertajuk "Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?" yang digelar secara daring pada Senin, 15 April 2024.
Namun, menurut Titi, masalah timbul ketika terdapat perselisihan hasil pemilu, terutama terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagian dari permasalahan sengketa pilpres. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU/XXI/2023 memberikan peluang kepada Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, untuk maju dalam Pilpres 2024, menimbulkan keraguan akan keadilan proses tersebut.
Menurut dia, akan berbeda jika perselisihan hasil pemilu itu tidak berkaitan dengan problematika yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga masalah ini menjadi salah satu dilema terbesar keadilan Pemilu 2024.
“Karena institusi formal yang diberi tugas menyelesaikan masalah hukum Pemilu, itu adalah bagian dari masalah hukum itu sendiri, yaitu adanya putusan 90," imbuh Titi.
Titi menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam mengawasi Pemilu yang autentik bisa dilakukan melalui Mahkamah Rakyat sebagai alternatif, mengingat keraguan terhadap institusi formal seperti Mahkamah Konstitusi. Contoh praktik Mahkamah Rakyat telah ada di Malaysia, seperti Pengadilan Rakyat yang diinisiasi oleh BERSIH.
"Jadi, Pengadilan Rakyat atau People's Tribunal untuk memproses kecurangan Pemilu itu sudah pernah dipraktikkan di Malaysia yang diinisiasi oleh kawan-kawan BERSIH," ujar Titi.
Titi menegaskan bahwa rasa ketidakpercayaan terhadap institusi formal, terutama Mahkamah Konstitusi, masih ada di Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong terhadap usaha masyarakat sipil dalam membahas kemungkinan pendirian mahkamah rakyat untuk meningkatkan kualitas pemilu di masa mendatang.
Pilihan Editor: Serahkan Kesimpulan ke MK, Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap 5 Pelanggaran di Pilpres 2024