TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Laporan itu merupakan tindak lanjut dari dua kali somasi yang mereka layangkan kepada Presiden Jokowi tanpa mendapat tanggapan apapun.
Pihak pelapor terdiri dari 42 lembaga swadaya masyarakat dan 11 individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka diwakili Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya saat memberikan laporan ke Ombudsman pada Rabu, 3 April 2024.
Menurut Dimas, pelaporan itu dilayangkan untuk mewakili keresahan mereka terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. “Yang penuh dengan kecurangan dan juga banyak intrik yang terjadi sehingga melakukan banyak distorsi informasi di masyarakat,” kata Dimas dikutip dari keterangan video pada Kamis, 4 April 2024.
Dimas mengatakan ada lima perbuatan yang mereka soroti dalam dugaan perbuatan maladministrasi Presiden Jokowi. “Pertama adalah bentuk intervensi langsung melalui pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye, boleh berpihak, dan akan melakukan cawe-cawe,” ujar Dimas.
Kedua, kata Dimas, adalah ketidakmampuan Presiden Jokowi untuk menjaga menteri-menterinya yang menjadi juru kampanye peserta Pilpres 2024 tetap profesional selama masa kampanye. “Ini juga kemudian membuat proses pelayanan atau proses tata kelola pemerintahan sangat bertolak belakang dan sangat tidak profesional,” ujarnya.
Ketiga, Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti politisasi bantuan sosial atau bansos. Dimas mengatakan mereka menilai politisasi bansos melahirkan distorsi dan kerugian dalam konteks penyelenggaraan Pemilu.
“Yang keempat adalah kami melihat ini juga masuk dalam satu situasi tata kelola pemerintahan yang penuh dengan proses kolusi, korupsi, dan nepotisme,” ujar Dimas.
Salah satunya, kata dia, melalui tindakan mencoreng hukum dalam pelaksanaan uji materi aturan batas usia minimal peserta Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelima, Jokowi juga dituding tidak mampu mengamanatkan diri sebagai Kepala Negara untuk menjalankan tanggung jawab konstitusinya dalam penyelenggaraan Pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
Berdasarkan kelima hal tersebut, Dimas menyatakan setidaknya ada tiga poin dugaan maladministrasi yang dilakukan Presiden Jokowi. Pertama, kata Dimas, yaitu tindakan yang diduga sebagai kebohongan atau menyampaikan informasi yang salah.
“Yang kedua adalah kami juga melihat proses dan juga tanggung jawab Presiden dalam hal ini untuk penyelenggaraan Pemilu itu sangat tidak etis atau masuk dalam kategori unethical behaviour,” ucap Dimas.
Selain itu, ketiga, Koalisi Masyarakat Sipil melihat ada sejumlah peraturan yang ditabrak atau perilaku disregard of law oleh Presiden. “Dan ini masuk dalam satu rumusan tindakan maladministrasi terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan maupun konstitusi,” ujar Dimas.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari puluhan lembaga dan kelompok, di antaranya KontraS, YLBHI, Aliansi Jurnalis Independen, Walhi, Indonesia Corruption Watch, Migrant CARE, hingga grup musik Efek Rumah Kaca. Selain itu, terdapat pula individu-individu lainnya seperti Suciwati Munir, Usman Hamid, Bivitri Susanti, Feri Amsari, hingga Fatia Maulidiyanti.
Pilihan Editor: Wacana Peleburan KPK dengan Ombudsman, Apa Tanggapan ICW dan IM57+ Institute?