TEMPO.CO, Jakarta - Terdapat berbagai idiom dalam dunia politik. Ada politik gentong babi hingga politik dagang sapi. Di Indonesia, politik dagang sapi pernah dituduhkan kepada sejumlah rezim.
Tudingan politik dagang sapi tersebut biasanya muncul karena sejumlah indikasi, diantaranya praktik saling tawar menawar atau melakukan transaksi politik. Disebut telah berlangsung sejak lama, praktik politik dagang sapi juga pernah dituduhkan kepada pemerintahan Jokowi. Apa saja kebijakan itu?
1. Isu Mengenai Usulan Penundaan Pemilu
Dalam opini Majalah Tempo Edisi Minggu, 5 Februari 2023, disebutkan bahwa usulan mengenai penundaan Pemilu yang dilontarkan oleh pendukung Jokowi seperti perang gerilya. Jika publik lengah, isu itu dilempar ke masyarakat dan apabila reaksinya negatif maka isu tersebut akan diredam.
Dalam politik dagang sapi yang disinyalir terjadi saat ini, isu penundaan pemilu bukan gagasan musykil. Awal 2022, ide penundaan pemilu disampaikan oleh tokoh-tokoh ternama seperti Menteri Bahlil Lahadalia, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, hingga Menteri Airlangga Hartarto. Selain itu, relawan pendukung Jokowi dan kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia turut menyuarakan hal yang sama.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan tegas menolak usulan itu. Ia menginginkan peralihan kekuasaan dan kemungkinan menyiapkan putrinya, Puan Maharani untuk maju.
Jika dikaitkan dengan politik dagang sapi maka isu penundaan pemilu bukanlah hal yang sulit. Apabila hal-hal seperti ini berhasil, maka akan menjadi pengkhianatan terhadap demokrasi.
Masyarakat pun terancam terpecah belah karena adanya unsur adu domba dan manipulasi dari isu yang mengundang pro kontra itu.
2. Revisi UU Desa
Perubahan UU Desa dinilai sarat akan kepentingan. Pasalnya revisi dilakukan dengan cepat dan terkesan buru-buru.
Dikutip dari Koran Tempo, Badan legislasi dan Pemerintah hanya memerlukan waktu sepuluh jam untuk menuntaskan pembahasan revisi kedua UU Desa. Rapat dimulai sejak 18.00 WIB dan berakhir menjelang tengah malam.
Sebelumnya, puluhan ribu kepala desa dan perangkat desa melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka mengancam akan vakum dalam penyelenggaraan pemilu jika DPR tidak mengesahkan revisi UU Desa sebelum pemungutan suara dilakukan.
Pihak DPR pun merespon dengan segera, pembahasan mengenai revisi UU Desa dilakukan sesuai permintaan yaitu sebelum pemungutan suara dengan alasan agar menjaga kondusivitas dan menghindari konflik kepentingan mendekati pemilu 2024.
Tiga sumber Tempo pun menyebutkan bahwa adanya barter politik yang menjadi alasan pembahasan revisi UU Desa bisa segera dilakukan.
Disebutkan bahwa fraksi-fraksi DPR setuju untuk membahas revisi UU Desa dengan harapan para kepala desa memberikan dukungan pada calon yang diusung oleh partai politik tersebut.
"Ada permintaan untuk mendukung calon presiden tertentu, " kata seorang pengurus organisasi kepala desa, seperti dikutip dari Koran Tempo.
Permintaan itu datang dari dua kubu calon yang berbeda yakni untuk memenangkan paslon Prabowo-Gibran serta Ganjar-Mahfud.
Hal ini jelas merupakan praktik politik dagang sapi yang digunakan untuk kepentingan mereka agar dapat mengamankan kekuasaan.
3. Koalisi Besar
Selain isu reshuffle, politik dagang sapi juga disinyalir terjadi dalam rencana pembentuan koalisi besar oleh Jokowi. Dilansir dari opini majalah Tempo, 16 April 2024, pembentukan koalisi besar kemungkinan dilakukan untuk menghasilkan penguasa baru yang menjamin kelanjutan pemerintahan Jokowi.
Jika koalisi besar terbentuk, Jokowi setidaknya telah mempunyai kandidat yang secara politik bisa mengamankannya setelah tak lagi berkuasa.
NI MADE SUKMASARI | ANDI ATAM FATURAHMAN
Pilihan Editor: Alasan Bansos dari Jokowi Dituding Sebagai Politik Gentong Babi