TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyesalkan respons delegasi Indonesia terhadap berbagai kritik dan pertanyaan dari Komite Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di Jenewa, Swiss. “Pemerintah tidak sepenuhnya berhasil dalam membuktikan kemajuan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia di forum internasional,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, melalui keterangan tertulisnya, Kamis, 14 Maret 2024.
Sebagai informasi, Komite ICCPR merupakan salah satu badan traktat dari Badan HAM PBB yang secara spesifik mengawasi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, dalam memastikan implementasi pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil dan politik warga negaranya.
Dalam sidang ICCPR yang diadakan pada 11-12 Maret 2024, komite banyak menanyakan beberapa isu diantaranya pembunuhan Munir Said Thalib, kekerasan di Papua, tertundanya penyelesaian pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk tragedi Wamena, Wasior, dan Paniai, serta ratifikasi Kovenan Protokol Opsional untuk Hak Sipil dan Politik (OP-ICCPR) terkait penghapusan atau moratorium hukuman mati.
Dimas menilai beberapa pertanyaan itu tak dijawab dengan optimal. Bahkan, kata Dimas, beberapa fakta yang disampaikan delegasi pemerintah Indonesia justru diputarbalikkan. Adapun delegasi pemerintah Indonesia yang hadir seperti Kementerian Informasi dan Komunikasi, Kementerian Hukum dan HAM, POLRI, Kantor Staf Presiden, dan Sekretariat Negara.
Dimas menyebut salah satu contoh misalnya saat pemerintah Indonesia membanggakan kemajuan demokrasi di Indonesia namun tidak mengakui adanya pendekatan militeristik yang ada di Papua. Pemerintah justru menyebut Revisi KUHP sebagai bentuk kemajuan HAM di Indonesia.
"Hal ini juga sangat disayangkan saat Pemerintah Indonesia membanggakan kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu dengan beasiswa dan kemudahan pembuatan visa di saat keluarga korban menginginkan keadilan yang setara pada para pelaku kejahatan," kata Dimas dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Kamis, 14 Maret 2024.
Dimas juga menyebut, beberapa pertanyaan juga tidak dijawab dengan lugas seperti pelanggaran etik Gibran Rakabuming Raka, penguatan KuPP di Indonesia terkait isu penyiksaan, serta penggunaan kekerasan yang berlebih terhadap masyarakat sipil yang mengekspresikan opini dan pendapatnya di demonstrasi.
"Hal ini mencerminkan negara yang bahkan belum siap mengemban status sebagai Dewan HAM PBB di kala pemenuhan HAM fundamental yang banyak terbengkalai di negaranya sendiri, serta mengakui kesiapannya sebagai anggota OECD dimana dimensi bisnis dan HAM menjadi catatan yang cukup mengkhawatirkan dari komite," kata Dimas.
Pilihan editor: Anies Jadi Sorotan Media Asing Soal Gugat Hasil Pilpres ke MK