TEMPO.CO, Jakarta - Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Jeddah mengungkapkan banyak pekerja migran ilegal yang mencoblos dengan daftar pemili khusus atau DPK karena takut dideportasi. Hal ini diungkapkan PPLN Jeddah saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2024 tingkat nasional di Gedung KPU RI, Jumat, 1 Maret 2024.
Awalnya saksi dari Partai Gerindra, Mariyatno Jamim, mempertanyakan margin antara pemilih DPK dan pemilih daftar pemilih tetap (DPT) yang terlalu besar di PPLN Jeddah. DPT di Jeddah berjumlah 54.488, sedangkan hanya 1.916 yang menggunakan hak pilihnya. Adapun pengguna hak pilih berstatus daftar pemilih tambahan (DPTb) sebanyak 5.689 orang.
"Ini DPK-nya besar sekali lo, 9.576. Itu prosesnya gimana sehingga lebih banyak DPK daripada (DPT)? Bahkan (dibanding) DPT, DPTb, lebih banyak DPK nya," kata Mariyatno di Kantor KPU RI, Jakarta.
Ketua PPLN Jeddah, Yasmi Adriansyah, mengatakan banyak pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal di sana yang tidak mendaftarkan diri saat proses pemutakhiran DPT. Menurut Yasmi, hal serupa juga terjadi pada Pemilu 2019 lalu. PPLN Jeddah, kata dia, telah berusaha untuk melakukan sosialisasi sejak awal agar warga negara Indonesia (WNI) di Jeddah tak masuk DPK.
"Ketika sosialisasi, coklit (pencocokan dan penelitian), sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan KPU agar mendaftarkan diri, tapi tidak mudah dalam prosesnya memang," ujar Yasmi.
Sementara anggota PPLN Jeddah, Siti Rahmawati, menuturkan PMI yang tidak memiliki dokumen resmi di sekitar wilayah Jeddah khawatir dideportasi jika mendaftarkan diri dalam DPT. Walhasil, PMI ilegal di Jeddah menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara menggunakan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) atau paspor.
"Mereka tidak berani mendaftar, yang khawatir nanti dilaporkan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), kemudian dideportasi," kata dia.
Pilihan Editor: Jokowi Diserbu Kritikan Buntut Berikan Prabowo Gelar Jenderal TNI Kehormatan, KontraS: Gelar yang Tidak Pantas