TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan kenaikan pangkat secara istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga calon presiden nomor urut 2.
Pemberian gelar ini ditentang sejumlah pihak lantaran mantan Panglima Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut dinilai memiliki rekam jejak yang buruk dalam karier militer, terkait pelanggaran HAM.
Prabowo menjadi purnawirawan dini pada 1998 saat berpangkat letnan jenderal. Kariernya sebagai abdi negara pupus setelah 24 tahun berkecimpung sebagai prajurit Angkatan Bersenjata Republi Indonesia (ABRI), sekarang TNI. Di usianya yang ke-47 tahun saat itu, Prabowo terpaksa pensiun setelah mendapatkan surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.
Menantu Presiden kedua RI Soeharto itu ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis prodemokrasi pada 1998. Berdasarkan surat keputusan itu, Prabowo kemudian dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Kesalahan Prabowo yang menyita banyak penjelasan adalah soal penugasan Satuan Tugas Mawar atau Tim Mawar untuk menculik aktivis prodemokrasi. Dinukil dari Majalah Tempo edisi medio Juni 2014 Dewan Kehormatan Perwira (DKP) menyatakan Prabowo bersalah pada 21 Agustus 1998. Ia terbukti memerintahkan Komandan Grup 4/Sandi Yudha Kopassus dan anggotanya dari Satuan Tugas Mawar dan Satuan Tugas Merpati “merampas kemerdekaan orang lain”.
Ketika diperiksa, anak buah Prabowo meyakini penculikan itu sebagai operasi resmi. Alasannya, Prabowo mengatakan “sudah melaporkan ke pimpinan” dan “atas perintah pimpinan”. Padahal operasi itu tak pernah dilaporkan ke atasan. Prabowo baru melaporkan operasi tersebut kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada April 1998.
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan DKP, laporan itu dibuat Prabowo setelah didesak Kepala Badan Intelijen ABRI. DKP juga menyebut Prabowo melampaui kewenangan dengan menjalankan operasi pengendalian stabilitas nasional. Operasi itu dilakukan berulang-ulang di Aceh, Irian Jaya—sekarang Papua, dan pengamanan presiden di Vancouver, Kanada, oleh Kopassus. Prabowo juga dinilai bersalah lantaran kerap pergi ke luar negeri tanpa izin Kasad atau Panglima ABRI.
Atas sejumlah tindakan Prabowo, DKP menilai Prabowo mengabaikan sistem operasi, hierarki, dan disiplin di lingkungan militer. Prabowo juga dianggap tidak menjalankan etika profesionalisme dan tanggung jawab. DKP juga menyebut Prabowo melakukan tindak pidana berupa ketidakpatuhan. Pidana lainnya adalah perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan.
Masih dari Majalah Tempo, DKP yang menyidang Prabowo kala itu terdiri dari tujuh perwira TNI. Mereka adalah Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, Letnan Jenderal Fachrul Razi, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Letnan Jenderal Yusuf Kartanegara, Letnan Jenderal Agum Gumelar, Letnan Jenderal Arie J. Kumaat, dan Letnan Jenderal Djamari Chaniago. Surat keputusan DKP diterbitkan pada 21 Agustus 1998.
Agum Gumelar dalam wawancara dengan Tempo sepekan setelah keputusan tersebut mengatakan Prabowo mengakui telah salah menganalisis perintah. Agum juga menjelaskan tak pernah ada perintah dari Presiden dan Panglima ABRI soal pengamanan itu. Kepada Tempo pada Oktober 2014, Prabowo mengaku “hanya” menyekap sembilan aktivis yang masih hidup. Dia mengatakan ada banyak tim yang mungkin terlibat.
“Saya hanya salah satu, kan ada beberapa belas panglima,” katanya. “Apa yang menjadi porsi saya, saya sudah bertanggung jawab. Saya enggak ke mana-mana, ada di sini.”
Menurut Fachrul Razi, tak ada perdebatan di DKP. Semua sepakat Prabowo direkomendasikan untuk diberhentikan dari dinas keprajuritan. Rekomendasi itu disetujui Panglima ABRI Wiranto. Tapi pemberhentian mesti disahkan lewat keputusan presiden. Keluarlah Keputusan residen Nomor 62 Tahun 1998. Isinya Prabowo diberhentikan “dengan hormat”, berbeda dengan rekomendasi DKP.
Kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998 oleh Tim Mawar mencuat pada 2014 saat Prabowo maju di Pilpres. Koran Tempo edisi Sabtu, 5 Juli 2014 melaporkan, lima mantan aktivis prodemokrasi yang juga korban penculikan 1998 menulis surat terbuka untuk Joko Widodo atau Jokowi-Jusuf Kalla yang saat itu menjadi lawan Prabowo. Mereka meminta kasus penculikan dituntaskan dan menemukan para aktivis yang hilang jika terpilih.
“Kami menyematkan harapan di hati Anda berdua, karena Anda jalan keluar dari penantian panjang penyelesaian masalah,” kata Raharja Waluya Jati, salah seorang mantan aktivis, saat membacakan surat terbuka tersebut di Hotel Cemara, Jakarta Pusat.
Selain Raharja, surat itu diteken Faisol Riza, Mugiyanto, Nezar Patria, dan Aan Rusdianto. Menurut Faisol Riza, surat terbuka itu juga merupakan bentuk dukungan mereka kepada pasangan dari koalisi PDI Perjuangan tersebut. “Kami tak bisa mempercayakan penyelesaian kasus ini kepada salah satu aktor penculikan yang juga maju sebagai calon presiden,” kata Faisol tanpa mau menyebutkan nama capres yang dimaksud.
Salah satu mantan aktivis 1998 yang juga korban penculikan, Pius Lustrilanang, justru membela Pra- bowo. Kader Gerindra ini mengatakan ketua umum partainya kerap dizalimi dengan tuduhan penculikan 1998. Ia menepis anggapan bahwa, jika Prabowo terpilih, pengusutan kasus pelanggaran HAM akan terhambat. “Prabowo memiliki kepentingan mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM,” ujar Pius.
HENDRIK KHOIRUL MUHID I MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS | RIKY FERDIANTO | KORAN TEMPO| MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Jokowi Beri Prabowo Pangkat Jenderal Kehormatan TNI, Siapa yang Mengusulkan?