TEMPO.CO, Jakarta - Sengketa hasil Pilpres 2024 tampaknya akan dibawa pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adanya indikasi kecurangan dalam Pilpres menjadi alasan dua kubu tersebut.
Kubu Anies-Cak Imin melalui ketua tim hukum mereka, Ari Yusuf Amir menyampaikan gambaran besar isi gugatan. Ia mengatakan, gugatan akan resmi dilayangkan jika pasangan Prabowo-Gibran dinyatakan menang oleh KPU. Mereka akan berfokus pada pelanggaran pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden.
Sementara pihak Ganjar-Mahfud Md lewat juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN), Cyril Roul Hakim atai Chico Hakim mengungkapkan fokus gugatan mereka akan menyoroti ditemukannya banyak kecurangan dalam proses pemungutan suara.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi Kusman mengatakan, pengajuan gugatan Pemilu ke MK oleh pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud Md merupakan langkah yang tepat.
Menurutnya, gugatan pemilu ini menjadi bagian dari etika politik bahkan sebagai upaya pertanggung jawaban dari para paslon kepada pemilih setelah memilih pasangan tersebut.
“Artinya untuk membuat lebih transparan dalam proses yang ada dan mempertanggungjawabkan suara-suara yang masuk, maka ditengah keadaan adanya kecurangan itu begitu tampil ke depan, saya pikir bahwa apa yang sudah dilakukan oleh pasangan 01 dan 03 sudah pada tempatnya” kata Airlangga kepada Tempo.co, pada Rabu, 21 Februari 2024.
Lebih lanjut, soal adanya indikasi kecurangan dalam pemilu, Airlangga mengatakan dugaan tersebut terjadi cukup kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh kedua kubu bahkan tak hanya soal adanya kecurangan perhitungan suara, tetapi sejak awal proses bergulirnya pencalonan pun diwarnai dengan pelanggaran etis yang muncul di MK. Seperti yang diketahui, putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui putusan MK yang kontroversial, menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Pencalonan ini dilakukan lewat putusan baru MK yang memuluskan jalan dalam proses pendaftaran Gibran sebagai pasangan capres-cawapres. Pun banyak dugaan kecurangan lain yang selama ini menyertai proses kampanye menuju hari pencoblosan.
“Kemudian juga bansos yang begitu besar, yang indikasi dan proses politik mendapatkan pengaruh elektoral yang besar dari Pak Jokowi, yang juga kemudian adanya keterhubungan misalnya antara presiden dan salah satu kandidat yang kemudian memunculkan banyak persoalan-persoalan sebagaimana hal tersebut. Juga adanya indikasi bagaimana di tingkat bawah kalangan elit politik pun mendapatkan tekanan-tekanan terkait pilpres,” kata Airlangga yang juga Direktur Centre for Governance and Citizenship Studies (CGCS).
Alasan dibalik kecurangan yang terjadi pada pemilu kali ini dikatakan karena adanya proses-proses politik dibaliknya. Jika dilihat ke belakang bahwa banyak isu-isu yang sebelumnya telah mencuat misalnya, adanya gagasan perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode di lingkaran istana. Sebenarnya, jika dilihat kembali hal itu menunjukkan adanya kehendak untuk melanggengkan kekuasaan di kubu Jokowi. Tentu saja gagasan-gagasan itu akan mendapatkan halangan.
Kemudian keinginan untuk melanggengkan kekuasaan itu berlanjut saat menjelang pilpres dengan pencalonan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden. Bisa dilihat bahwa proses yang mereka jalani bertujuan untuk melanjutkan kekuasaan sekaligus pemakmuran didalamnya.
“Itulah motif utama dari berbagai macam kecurangan yang timbul karena conflict of interest oleh presiden dengan salah satu kandidat dan keterhubungan politik antara presiden dengan 02,” kata dia.
Hal ini menunjukkan bagaimana sirkulasi aliansi elit politik dan kelompok politik di sekitar situ berusaha untuk tetap merawat kekuasaan yang ada. Dan, itu yang sudah berlangsung selama 10 tahun belakangan ini. “Nah itu yang saya pikir menjadi motif utama berbagai macam kecurangan tersebut.” kata Airlangga.
Kecurangan pemilu bisa terjadi secara sistematis. Memang seharusnya jika ada yang melihat itu, maka hendaknya dibuktikan. Indikasi akan dugaan itu semakin besar dan bisa di proses di MK. Airlangga menjelaskan, mengapa prosesnya harus di MK, apabila dugaan kecurangan pemilu terbukti bisa jadi itu bersifat terstruktur, sistematis dan masif atau TSM.
“Nah kita bisa melihat mulai dari proses itu bagaimana misalnya, terkait dengan apakah tindakan tersebut dilakukan secara kolektif oleh banyak pihak, apakah kemudian aktivitas kecurangan tersebut bukan hanya dilakukan oleh individu, tetapi terencana artinya melihat pengaturan atau setting dari atas ke bawah, atau efeknya masif gitu.” kata dia.
Dari situ kemudian ruang yang ada dalam MK dapat dimanfaatkan oleh masing-masing paslon 1 dan 3 untuk membuktikan bahwa seperti itu secara hukum terbukti terstruktur, sistematis dan masif maka itulah yang terjadi dalam kecurangan pemilu saat ini.
Dampak bagi demokrasi jelas ini salah satu bentuk penurunan yang drastis terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Bahwa fondasi-fondasi penting demokrasi, bagaimana terbangunnya pemisahan kekuasaan, kontrol publik dalam pemisahan kekuasaan, hukum melalui konstitusi itu juga bisa membatasi kekuasaan agar bekerja tak terbatas. "Semua nilai serius tersebut sangat berkemungkinan besar jatuh karena kecurangan pada pilpres 2024," katanya, menegaskan.
Pilihan Editor: Dugaan TSM Pemilu 2024, Penjelasan Dosen UIN Suska Riau Soal Terstruktur, Sistematis, dan Masif