TEMPO.CO, Jakarta - Sebelum kesetaraan gender dan emansipasi wanita diterapkan, sistem pendidikan kolonial Belanda jauh dari kata setara. Di sekolah-sekolah pada abad ke-19, jarang sekali terdapat murid perempuan apalagi dari kalangan pribumi. Di School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) misalnya, perlu waktu 60 tahun untuk sekolah kedokteran itu menerima murid perempuan.
Berdiri tahun 1951, STOVIA baru menerima murid perempuan di tahun 1911 dan salah satu murid peremuan pertama adalah Marie Thomas, seorang perempuan campuran Eropa dan Minahasa. Dilansir dari buku Her Story, Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah, kebijakan Sekolah pun disebut tak adil kepada murid perempuan. Saat itu, murid perempuan tak diberi tunjangan dan tempat tinggal, sedangkan murid laki-laki diberi tunjangan dan tinggal di asrama selama masa studi. Alhasil Marie harus tinggal sendiri dan membiayai akomodasi sekolahnya sendiri.
Di tengah diskriminasi itu, Marie Thomas terus berjuang untuk sekolah. Ia belajar dengan tekun. Meski diperlakukan berbeda, Marie tak menyerah. Ia menjadi satu-satunya perempuan di antara 180 siswa laki-laki.
Melihat ketimpangan itu, sekelompok perempuan membentuk yayasan untuk membantu perempuan yang sedang sekolah. Yayasan itu bernama Studiefondsvoor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA). Organisasi itu membantu Marie menyelesaikan sekolahnya.
Butuh waktu 10 tahun bagi Marie untuk lulus. STOVIA menyatakan Marie Thomas lulus dengan nilai yang memuaskan, sehingga menyandang gelar Indische Arts pada 26 April 1922. Setelah menerima diploma, Marie menjadi sorotan dan mendapat banyak pujian.
Kelulusan Marie menjadi menarik perhatian besar di Hindia Belanda, karena menjadi dokter perempuan pertama di tanah air. Setelah mendapatkan gelar terhormat, pemerintah menugaskannya berdinas menjadi dokter pemerintah di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ), yang sekarang berubah nama menjadi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sebagai seorang dokter yang cakap, Marie mendalami ilmunya, sehingga diakui sebagai spesialis ginekologi dan kebidanan dan termasuk salah satu dokter pertama yang terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi lewat metode kontrasepsi Intrauterine Device (IUD).
Wanita yang beraliran darah Minahasa, lahir pada 17 Februari 1896 dari pasangan Adrian Thomas dan Nicolina Maramis. Dilansir dari laman Kemendikbud, ayahnya yang bekerja sebagai tentara, membuat Marie harus berpindah-pindah sekolah. Setelah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan lulus pada 1911.
Lahir sebagai golongan indo, Marie disebut-sebut lebih condong berpihak kepada Indonesia. Sebagai perempuan berdarah Minahasa, Marie bergabung dengan organisasi perempuan beranama Persatoean Minahasa.
Di Stovia, Marie sempat bertemu Mohammad Joesoef dari Sumatra. Mereka duduk di kelas yang sama untuk waktu yang lama dan lulus pada waktu yang sama pula. Setelah beberapa tahun lulus mereka akhirnya menikah pada 16 Maret 1929. Mereka berdua kemudian berangkat ke Padang, Sumatra Barat, yang merupakan kampung halaman suami. Marie dan suami dikaruniai dua orang anak yang bernama Sonya dan Eri
Setelah berhasil berkarir di bidang kedokteran, pada 1950 ia mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi. Sekolah kebidanan yang ia dirikan menjadi yang pertama di Sumatera dan kedua di Indonesia.
Setelah 40 tahun lamanya ia mengabdi di dunia kedokteran, Marie menutup usianya di umur 70 tahun akibat penyakit serangan jantung. Marie Thomas dikenal sebagai seorang dokter yang selalu ada untuk pasiennya. Diceritakan, banyak pasiennya yang ia bantu secara cuma-cuma. Di Indonesia, sayangnya, seperti dicatat media Belanda, saat ini Marie Thomas menjadi tokoh yang tidak begitu dikenal. Bahkan, sekolah kebidanan yang ia dirikan tidak menggunakan namanya.
Pilihan Editor: Menaker: Gender Shaming Penghambat Perempuan di Dunia Kerja