TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP belum menentukan apakah akan menjadi oposisi bila pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Kendati demikian, partai banteng mengaku punya pengalaman 10 tahun menjadi oposisi di era pemerintahan Presiden RI Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“PDI Perjuangan pengalaman (sebagai oposisi pada) 2004 dan 2009, posisi saat itu berada di luar pemerintah,” kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Gedung High End, Jakarta Pusat, pada Kamis, 15 Februari 2024.
Kerja oposisi misalnya, menurut Hasto jika ada kebijakan yang tak memprioritaskan rakyat, PDIP akan menyampaikan sikapnya. Di sisi lain, mereka juga akan memberikannya dukungan apabila kebijakan tersebut untuk tujuan kemajuan pembangunan. Kata Hasto, era itu PDIP berhasil meningkatkan kualitas demokrasi dan mendapat banyak apresiasi.
“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Hasto dalam acara Satu Meja di Kompas TV, pada Rabu, 14 Februari 2024.
Kisah PDIP menjadi partai oposisi ternyata tak semudah pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan diri sebagai oposisi setelah kalah dalam Pilpres dan Pileg 2024. Partai banteng bahkan sempat diragukan dan dipandang sinis lantaran jadi “lawan” pemerintah. Apalagi, PDIP sebelumnya punya ideologi yang sama dengan petahana: liberal.
Berikut kisah PDIP jadi oposisi era SBY
Tuswoyo dalam disertasinya Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman PDI Perjuangan (PDIP) di Era Pemerintahan SBY-JK (2012), mengungkapkan setelah kalah dalam Pileg dan Pilpres pada 2004, Megawati mendeklarasikan partainya sebagai pihak oposisi. Dia melarang kadernya duduk dalam kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).
Sebagai landasan, partai merah ini kemudian membuat dan mengadopsi Format Oposisi PDIP yang berisi dasar dan orientasi kebijakan PDIP menjadi partai oposisi. Format Oposisi PDIP tersebut menjelaskan bahwa oposisi dilakukan terhadap kinerja pemerintah berupa kritik terhadap hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat. Di sisi lain juga mengajukan alternatif yang menguntungkan rakyat.
Bagi PDIP menjadi oposisi bukanlah hal baru. Sejak kelahirannya, partai fusi ini selalu diposisikan sebagai partai oposisi oleh rezim Orde Baru yang tidak mengakui keberadaan oposisi. Namun, setelah kekuasaan Soeharto runtuh dan PDIP memegang tampuk pemerintahan, nyatanya Megawati juga menerapkan orientasi liberal, yang dianut Soeharto, juga SBY-JK.
Dalam persoalan strategis, partai oposisi harus memiliki justifikasi ideologi yang berbeda dengan orientasi ideologi pemerintah. Justifikasi ideologi akan memudahkan partai oposisi untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa. Sebab, dengan adanya perbedaan ideologi, partai oposisi dapat melihat kebijakan pemerintah dalam sudut padang yang berbeda secara ideologis.
Kesamaan orientasi liberal yang diterapkan PDIP sebelumnya memperkuat anggapan bahwa antara pemerintah dan partai oposisi tidak memiliki perbedaan orientasi ideologi. Dengan kata lain, PDIP dianggap tidak layak menjadi partai oposisi karena tidak memiliki justifikasi ideologi yang dapat dijadikan pembeda. Akibatnya PDIP tak punya sarana untuk mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam perspektif ideologi.
Untuk menyanggah tudingan itu, maka disusunlah Format Oposisi PDIP tersebut. Salah satunya berkaitan dengan justifikasi ideologi yang dapat dibedakan dengan ideologi pemerintah. Isi Format Oposisi PDIP memberikan penekanan pada kepentingan “wong cilik” sekaligus menjelaskan sikap politik PDIP yang tak lagi berorientasi liberal, sebagaimana pernah dilakukan saat memegang kekuasaan.
Kongres Kedua PDIP di Bali pada 2005 yang menetapkan Pancasila sebagai dasar kebijakan beroposisi, menyadarkan elite PDIP bahwa melalui kebijakan reposisi atau kembali pada orientasi kerakyatan lebih memungkinkan untuk mendekati rakyat yang kecewa saat PDIP memegang pemerintahan. Sebagaimana diamanatkan kongres pada 28 Maret hingga 1 April 2005 itu, PDIP lalu mendeklarasikan orientasi ideologinya menjadi ekonomi nasionalistis.
Melalui kebijakan reposisi, PDIP berupaya menjelaskan kepada publik tentang orientasi barunya setelah selama berkuasa cenderung berorientasi liberal. Menurut Revrison Basir dalam Seminar pada 28 April 2009, seperti dikutip Tuswoyo tentang peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan, tampaknya PDIP berupaya menegakkan konstitusi yang mengatur perekonomian negara.
“Negara diharapkan berperan dalam mencegah adanya dominasi asing karena akan berakibat buruk bagi kedaulatan bangsa di bidang ekonomi,” kata Revrison.
Bagi PDIP, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya mengenai “dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” telah dirumuskan secara final dalam keputusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, telah menjadi dasar hukum dan perundang-undangan, yang wajib menjadi prinsip dan konsep segala kebijakan penyelenggara negara. Ketika kebijakan pemerintah dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, PDIP akan mempersoalkannya.
Lantas apakah kebijakan oposisi yang dijalankan PDIP memberi kontribusi bagi pelembagaan di parlemen, atau sekadar peningkatan bargaining untuk membangun kartel politik?
Menurut Tuswoyo, keberadaan partai oposisi selalu dikaitkan dengan sistem parlementer. Akibatnya ketika PDIP mengambil kebijakan menjadi oposisi pada era pemerintahan SBY-JK, banyak pihak pesimistis dan cenderung sinis. Akan tetapi, dalam perjalanan menjadi partai oposisi, terutama setelah PDIP menyampaikan laporan kegiatan oposisinya ke publik, pandangan miring secara perlahan berubah.
Berbagai kebijakan yang kontroversial di mata publik, seperti penetapan ExxonMobil sebagai lead operator Blok Cepu dan kenaikan harga BBM, memperoleh perlawanan keras dari PDIP selaku oposisi. PDIP menunjukkan konsistensinya dalam menolak kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rakyat dan tidak nasionalistis tersebut. Publik pun mengapresiasi dan memberikan dukungan kepada PDIP.
HENDRIK KHOIRUL MUDHID I ADIL AL HASAN | BAGUS PRIBADI
Pilihan Editor: Hasto Bilang PDIP Siap Jadi Oposisi, Pengamat: Partai akan Miliki Muruah