TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menyarankan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP agar memposisikan diri sebagai partai non-pemerintah.
Saran Arif ini disampaikan usai menganalisis hasil quick count sementara yang mengunggulkan pasangan calon (paslon) nomor urut dua Prabowo-Gibran dan PDIP sebagai partai politik paling tinggi memperoleh suara di Pileg DPR.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebelumnya menegaskan partainya siap menjadi oposisi pemerintah.
“Jika ini (quick count) linier dengan real count, maka PDIP semestinya memposisikan diri sebagai partai non-pemerintah,” kata Arif saat dihubungi Tempo, Kamis, 15 Februari 2024.
Selain alasan agar berjalannya mekanisme check and balance, menurut Arif, PDIP akan menegaskan partai itu memiliki muruah politik.
“Sebab jika bergabung di pemerintah, tentu akan muncul anggapan PDIP pragmatis dan tak ideologis mengingat Prabowo-Gibran lawan dalam Pilpres,” katanya.
Menurut dia, akan berguna jika ada partai di parlemen yang menjadi penyeimbang kebijakan-kebijakan pemerintah atau eksekutif.
“Justru yang mengkhawatirkan, jika tak ada kekuatan penyeimbang. Fungsi parlemen menjadi mandul,” ujarnya.
Hasto: PDIP siap jadi oposisi
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan partainya siap menjadi oposisi pemerintahan untuk menjalankan tugas check and balance.
Dikutip dari Tempo, Hasto menyinggung kekuasaan periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang terpusat.
Kekuasaan itu, kata Hasto, memunculkan kemampuan untuk melakukan manipulasi, sehingga kekuasaan dan kritik dalam konteks kebijakan dan implementasinya dibutuhkan keseimbangan.
Berada di luar pemerintahan, kata Hasto, merupakan suatu tugas patriotik dan pernah dijalani PDIP pasca-pemilu 2004 dan 2009.
“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Hasto dalam acara Satu Meja di Kompas TV, pada Rabu, 14 Februari 2024, seperti dikutip dari Tempo.
Selain itu, Hasto menyebut pada Pemilu 2009 terjadi manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), sehingga wakil rakyat di DPR membentuk hak angket. Ketika itu, kata Hasto, muncul suatu kesadaran perlindungan hak konstitusional warga negara untuk memilih, meskipun hal itu terjadi lagi saat Pemilu 2024.
Selanjutnya: Dia menilai banyak pemilih…