TEMPO.CO, Jakarta - Prof Koentjoro membacakan Petisi Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai sebuah peringatan dengan niat baik kepada salah satu alumnus, Jokowi, pada 31 Januari 2024. Sebab, tindakan Jokowi semakin membahayakan demokrasi Indonesia.
Usai membacakan Petisi Bulaksumur, ia juga mengaku mendapatkan komunikasi melalui WhatsApp dari pihak Universitas Islam Indonesia (UII). Kampus UII mengatakan akan mengadakan petisi, tetapi ia tidak ikut merumuskan, hanya membaca dan mempelajari.
Selain UII, beberapa kampus di Indonesia pun mengikuti jejaknya. Melihat kondisi ini, Prof Koentjoro sangat bersyukur lantaran suara dari guru besar dan sivitas akademika UGM ditangkap oleh perguruan tinggi lain.
“Kami (guru besar dan sivitas akademika UGM) tidak memberikan pengaruh dan kuasa kepada kampus lain. Jika terpengaruh, mereka berarti melihat hal yang sama,” ujar Koentjoro kepada Tempo.co, pada 5 Februari 2024 kepada Tempo.co.
Menurut Prof Koentjoro, banyak kampus di Indonesia kemudian mengikuti langkah Petisi Bulaksumur memiliki kesamaan rasa. Salah satu rasa dari kampus di Indonesia yang diangkat menjadi petisi adalah etika.
“Dorongan kuat kami untuk menulis ini adalah permasalahan etika yang tidak terperhatikan. Sebab, persoalan etika oleh Jokowi, maaf, tidak terperhatikan. Kami juga bukan gerakan memberontak, melainkan gerakan kasih sayang kepada saudaranya,” ujar pengajar di Fakultas Psikologi UGM.
Setelah membacakan Petisi Bulaksumur, Prof Koentjoro juga mengaku tidak mendapatkan intimidasi dari pihak luar. “Sampai saat ini, alhamdulillah tidak mendapatkan,” kata dia.
Sebab, Prof Koentjoro bersama rekan-rekan guru besar dan sivitas akademika UGM lain tidak meniatkan membuat petisi dengan rasa benci. Petisi Bulaksumur dibuat dengan niat rasa kasih.
“Saya punya kewajiban mengingatkan saudara saya (Jokowi). Saya tidak takut (kelak) diintimidasi karena saya tidak berbuat salah. Namun, saya memang banyak dituduh orang PKS karena berjenggot. Lalu, saya dikatakan juga berada dalam pihaknya Ganjar. Padahal, saya lebih berpihak kepada Jokowi sehingga saya mengingatkannya agar tidak salah lebih jauh lagi,” kata Koentjoro.
Setelah Petisi Bulaksumur, Prof Koentjoro mengaku akan tetap melakukan gerakan-gerakan untuk mengawasi jalannya demokrasi sesuai kondisi masa depan. Saat ada yang mencoreng nama baik UGM atau seorang alumnus, Guru Besar UGM ini mengaku akan melakukan atau membuat petisi lagi untuk mengharumkan nama baik kampus.
“Namun, jika bukan atas nama UGM, saya punya pikiran yang belum saya sampaikan kemana-mana. Saya ingin menuntut persatuan setelah Pemilu selesai. Saya ingin mengadakan gerakan terkait kerukunan sebagai bangsa Indonesia. Ini sangat tergantung situasi dan kondisi, tetapi tetap mengutamakan nilai-nilai ke-UGM-an,” ujarnya.
Di luar Petisi Bulaksumur, Koentjoro mengingatkan kepada publik terkait situasi demokrasi saat ini. Menurutnya, publik harus membaca regulasi dengan tepat karena perang media sosial sedang terjadi secara panas dan membahayakan. Selain itu, kepada tim sukses, ia mengimbau harus membuat penjelasan yang tidak membodohi masyarakat.
“Saya minta maaf, Pak Jokowi melakukan pembodohan. Jokowi bilang presiden boleh memihak berdasarkan UU Pemilu. Dalam aturan tersebut dari Pasal 280 sampai Pasal 289, itu satu rangkaian yang tidak bisa dipotong-potong, tetapi Jokowi hanya menunjukkan sepotong. Ini pembodohan masyarakat. Saya tidak rela dibodohi. Selama kampanye, juga ada pembodohan oleh presidennya. Itu berarti gagal mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Prof Koentjoro selaku pembaca Petisi Bulaksumur UGM.
Pilihan Editor: Petisi Bulaksumur Disebut Partisan, Prof Koentjoro: Saya Marah Besar, Ada 250 Guru Besar UGM Terlibat dalam Diskusi Ini