TEMPO.CO, Jakarta - Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada atau UGM yang terdiri dari beberapa guru besar, dosen, dan mahasiswa berkumpul di Balairung UGM. Mereka mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang sudah keluar jalur melalui Petisi Bulaksumur.
Didampingi sejumlah guru besar dari berbagai fakultas, Profesor Koentjoro membacakan Petisi Bulaksumur dan menyanyikan Himne Gadjah Mada.
"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada," kata Profesor Koentjoro di Balairung UGM, Rabu, 31 Januari 2024
Ia melanjutkan membaca Petisi Bulaksumur, "Presiden Jokowi sebagai alumni semestinya berpegang pada jati diri UGM, yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokrasi agar berjalan sesuai dengan standar moral yang tinggi dan dpat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah demi melanjutkan estafet kepemimpinan demi mewujudkan cita-cita luhur sesuia UUD 1945".
Rektorat UGM kemudian menyatakan bahwa Petisi Bulaksumur tersebut tidak menyuarakan pandangan resmi universitas. Andi Sandi, Sekretaris UGM, menjelaskan bahwa Petisi Bulaksumur tidak dianggap sebagai perwakilan resmi dari UGM sebagai lembaga. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa jika petisi tersebut diajukan atas nama institusi, maka harus melibatkan proses formal yang diperlukan, sementara Petisi Bulaksumur bermula dari diskusi internal antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
"Saya sampaikan bahwa dosen dalam hal ini ada juga guru besar, ada mahasiswa, alumni, tenaga kependidikan ini ada yang ikut dalam elemen-elemen diskusi itu. Tapi kalau ini mau dikatakan secara institusional kami harus lewat proses institusional di mana itu ada Senat Akademik, dewan guru besar, MWA, dan pimpinan universitas. Belum lagi kita harus bercerita dengan teman-teman dekan," kata Andi Sandi kepada awak media pada Jumat, 2 Februari 2024.
Profesor Koentjoro Ketua Dewan Guru Besar UGM mengatakan Petisi Bulaksumur ini dibacakan bukan berdasarkan kelembagaan, melainkan atas nama sivitas akademika UGM.
“UGM sebagai lembaga yang menyuarakan sikap, itu tidak mungkin. Manusia yang mengatasnamakan lembaga, baru yang bisa bersikap. Kita sebagai sivitas akademika UGM bersikap karena merasa malu, merasa tercoreng,” kata Koentjoro kepada Tempo.co, Senin, 5 Februari 2024.
Bahkan, ia mengatakan petisi ini pun tidak memiliki hubungan dengan rektor. Sebab, petisi ditujukan kepada sesama alumnus UGM, bukan mahasiswa. Alumnus merupakan sosok yang sudah lulus UGM sehingga tidak ada hubungan dengan rektor.
Petisi Bulaksumur lahir karena melihat kondisi demokrasi sekarang yang sangat memprihatinkan dari pemimpin negara. Jokowi bersikap mencla-mencle ketika Pilpres 2024. Seharusnya, Jokowi yang berasal dari Solo memegang teguh budaya Jawa.
"Jokowi seorang kepala negara harus memegang sabdo pandito ratu yang berarti ucapan kepala negara, itu tidak boleh mencla-mencle,” kata Koentjoro.
Kondisi demokrasi semakin memprihatinkan karena Jokowi tidak memahami pentingnya etika putusan MK terkait usia Gibran sah secara hukm, tetapi cacat etika. Akibatnya, tindakan ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi melakukan pembelaan yang salah. Bahkan, Jokowi sudah melakukan tindakan pembodohan. Keputusan tersebut cenderung dibenarkan sampai akhirnya lahir menjadi kenyataan yang salah.
Adapun, kenyataan salah yang dilakukan Jokowi merusak marwah demokrasi adalah boleh memihak dan berkampanye. Padahal, Jokowi sosok presiden yang memiliki pengaruh besar. Selain itu, bantuan sosial (bansos) yang tidak dilakukan oleh Menteri Sosial. Tindakan Jokowi mengusik rasa keadilan sivitas akademika UGM sehingga melahirkan Petisi Bulaksumur.
Pilihan Editor: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Prof Koentjoro: Tindakan Jokowi Makin Lama Makin Membahayakan