TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang kritik kepada Presiden Joko Widodo terus berlanjut. Kini, Sekolah Tinggi Filsafat atau STF Driyarkara menyerukan penegakan demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi yang dinilai merosot menjelang Pemilu 2024. Seruan itu dilakukan berdasarkan kesepakatan enam akademisi lainnya di bidang filsafat dan teologi di berbagai tempat.
“Kepada presiden, kami mengingatkan bahwa bersikap jujur dan adil adalah cara berpikir dan laku dalam bernegara. Kekuasaan yang dijalankan secara lancung akan merusak etika dan hukum,” kata Rektor STF Driyarkara Simon P. L. Tjahjadi usai acara seminar bertajuk Seruan Jembatan Serong II di Jakarta Pusat, Senin, 5 Februari 2024.
Simon mengatakan sudah mengawasi langkah politik Jokowi sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU21/2023 yang meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Jokowi dinilai makin jauh dari yang diharapkan oleh pemilihnya. “Terutama menyangkut netralitas sikap negara dan kontinuitas perjuangan reformasi melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam berbagai bentuknya,” katanya.
Ia menuturkan dalam pernyataan sikap itu, negara tak boleh dikurbankan demi kepentingan kelompok atau kelanggengan kekuasaan keluarga. Ia juga mewanti-wanti segenap pemangku jabatan dan aparat pemerintah agar mengingat kembali sumpah jabatan untuk berbakti kepada nusa dan bangsa serta memenuhi kewajiban seadil-adilnya.
“Kembalikan keluruhan eksistensi Indonesia dengan menghormati nilai-nilai politik yang diwariskan bapak pendiri kita, bukan malah merusaknya lewat pelanggaran konstitusional dan akal-akalan undang-undang yang menabrak etika berbangsa dan bernegara,” katanya.
Simon mengatakan pernyataan sikap sivitas akademika STF Driyarkara adalah bagian dari orkestra nasional bersama perguruan tinggi lainnya yang bergerak mengkritik kepemimpinan Jokowi. “Demi supremasi moral di atas dan mengatasi segala macam urusan elektoral,” ujarnya.
STF Driyarkara menyusun pernyataan sikap bersama Armada Riyanto dari STFT Widya Sasana Malang, Elias Tinambunan dari STFT St. Yohanes Pematangsiantar, Otto Gusti Madung dari IFTK Ledalero Maumere, CB Mulyatno dari Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Barnabas Ohoiwutun dari STF Seminari Pineleng Minahasa, Y Subani dari Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang.
Sementara saat seminar berlangsung, Redaktur Majalah Tempo Stefanus Pramono yang menjadi pembicara dalam acara tersebut menuturkan rekam jejak Jokowi membangun dinasti politiknya sudah terlihat sejak beberapa waktu ke belakang.
Pramono menyampaikan dalam sejumlah laporan Tempo telah dikupas bagaimana siasat Jokowi berusaha membangun dinasti. Menurut dia, akar dari dinasti politik adalah oligarki yang berorientasi keuntungan semata.
“Ketika dia (Jokowi) mengizinkan anaknya dan menantunya untuk maju dalam pentas pilkada itu buat saya atau buat kami di Tempo sudah pelanggaran berat,” katanya.
Pilihan Editor: Polisi Diduga Intimidasi Akademisi yang Suarakan Pernyataan Sikap Kritik Jokowi