TEMPO.CO, Yogyakarta - Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia atau UII membacakan pernyataan sikap yang diberi judul “Indonesia Darurat Kenegarawanan” untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Ada gejala sikap kenegarawanan Presiden Jokowi pudar,” kata Rektor UII, Prof Fathul Wahid, di halaman Auditorium Kahar Muzakkir di Kampus Terpadu UII di Jalan Kaliurang Km. 14, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Kamis, 1 Februari 2024.
Setidaknya ada empat indikator gejala terkait pudarnya sikap Presiden Jokowi tersebut. Pertama, pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden yang didasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pengambilan putusannya dinilai sarat intervensi politik. Bahkan dinyatakan terbukti melanggar etika dan menyebabkan Hakim MK Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK.
Kedua, diperjelas dengan pernyataan ketidaknetralan institusi kepresidenan oleh Jokowi dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak.
Ketiga, distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden. Lantaran ditengarai sarat nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan capres cawapres tertentu.
Keempat, mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi.
“Itu bukti, Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi,” tegas Fathul.
Desakan kepada Jokowi
Atas kondisi tersebut, sivitas akademika UII menggaungkan pernyataan sikap. Pertama, mendesak Presiden Jokowi kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan. Caranya dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden.
“Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan. Bukan untuk sebagian kelompok,” kata Fathul.
Kedua, menuntut Presiden Jokowi beserta semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan. Dengan cara tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.
Ketiga, menyeru kepada DPR dan DPD agar aktif melakukan fungsi pengawasan, memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa.
Selanjutnya: Keempat, mendorong capres, cawapres, para menteri…