TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh Nahdliyin Nusantara akan melayangkan protes pada Pengurus Besar NU atau PBNU yang terindikasi tidak netral dalam Pilpres 2024. Protes ini didengungkan menjelang peringatan hari lahir (harlah) ke-101 Nahdlatul Ulama (NU) yang akan dipusatkan di Yogyakarta pada 28-30 Januari 2024.
Mereka akan menggelar Musyawarah Besar (mubes) pada Ahad, 28 Januari di Yogyakarta yang mengkritisi sikap sejumlah pengurus harian NU beserta badan otonom yang mendukung dan memobilisasi kader pada satu pasangan calon presiden secara terbuka.
"Mubes ini kami gelar untuk menyuarakan netralitas NU dan mendesak PBNU kembali ke khitah," ujar kordinator Mubes Nahdliyyin Nusantara T.G Hasan Basri Marwah dalam konferensi pers di Yogyakarta Sabtu, 27 Januari 2024.
Dalam pernyataan itu hadir Kyai Imam Baihaqi (Dewan Pengarah), Zuhdi Abdurrahman (Sekretaris Mubes Nahdliyyin Nusantara), dan juga Kyai Nur Khaliq Ridwan (Perumus dan pengarah Mubes).
Hasan Basri menuturkan keadaan akhir-akhir ini di tingkat jamiyah turut tergerus dalam hiruk pikuk politik menjelang Pilpres 2024.
Sehingga mendorong pihaknya untuk melakukan refleksi yang berpijak pada dasar bersama Khittah NU.
"Berita-berita dan dari video-video yang beredar di tengah warga NU menunjukkan banyak sekali Pengurus Harian NU dan badan otonom yang terlibat dalam aktivitas dukung mendukung capres-cawapres tertentu secara terbuka, sungguh sangat meresahkan para Nahdliyin," kata dia. Hal itu, kata Hasan Basri, mendorong jam'iyah terlibat kepentingan politik praktis.
Padahal, Hasan menuturkan, dasar nilai-nilai keulamaan, yang berpijak pada ahlussunah wal jama'ah an-Nahdliyyah, menegaskankan arti pentingnya amar ma’ruf nahi munkar.
Sehingga memberikan pengertian nilai-nilai ulama yang seharusnya berpijak pada Ahlusnnah waljamaah adalah nilai-nilai ulama yang berpijak pada keilmuan, kejujuran keteladanan, kerahmatan, dan mengayomi (riayatul ummah).
"Dasar-dasar politik Ahlussunnah Wal Jama'ah an-Nahdliyyah, bukan untuk mencari kemenangan-kemenangan kekuasaan, tetapi untuk menegakkan nilai-nilai moral di dalam pengelolaan kekuasaan, keadilan, dan berdemokrasi yang bersih dari suap menyuap," kata dia.
Mubes ini, kata dia, berangkat berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan Muktamar NU tahun 1999 dan 2002 tentang nasbul imam dan demokrasi dan tentang money politics.
Disebutkan bahwa mengangkat imam itu wajib yang harus disertai dengan penciptaan masyarakat demokratis. Sementara politik uang itu adalah haram dan pengkhianatan, karena money politics itu sifatnya lidaf`il haqq litahshilil bathil.
Hasan mengungkap dalam persoalan pemilihan umum yang merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi, PBNU harus mengambil sikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan yang mandiri dan mencerminkan karakter politik berbasis Aswaja.
"Rais Aam dan jajaran syuriah PBNU memiliki hak mutlak menegur dan memberhentikan pengurus PBNU yang terlibat langsung dengan praktek politik praktis dalam pemilu," kata dia.
"Rais Aam dan jajaran syuriah PBNU juga perlu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga NU menyalurkan hak-hak politiknya dalam setiap Pemilu. Tidak malah mengarahkan secara vulgar dan murahan agar pengurus NU dari PBNU sampai cabang mendukung salah pasangan capres dan cawapres," kata dia.
Pilihan Editor: Ali Masykur Musa Akui Ada Pertemuan Tertutup PBNU Bahas Dukungan Pilpres 2024