TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Poltak Partogi Nainggolan merespons pernyataan Presiden Joko Widodo alias Jokowi soal presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak di pemilu asal tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Menurutnya, dengan penyataan Jokowi tersebut, masyarakat dipertontonkan dengan permainan kekuasaan.
"Yang kita lihat adalah permainan kekuasaan. Masyarakat dan media massa perlu sadar. Bisakan kita bisa menciptakan fair election (pemilu yang adil)?" kata dia saat diskusi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bertajuk Pemilu Curang yang menyoal netralitas presiden dalam keterangan tertulis Kamis 25 Januari 2024.
Ia menyebut, situasi saat ini sangat mengkhawatirkan, padahal Pemilu 2024 tinggal tiga minggu lagi. Menurutnya, ada keterlibatan dan intervensi dari pemimpin untuk mengikuti kepentingannya. "Mana yang mau kita korbankan? Apakah ambisi pribadi tapi mengorbankan kepentingan nasional? ini yang harus kita pikirkan," kata Poltak.
Jokowi sebelumnya menyatakan Presiden dapat memihak dan berkampanye dalam pemilu. Tak hanya presiden, dia mengatakan menteri juga diperbolehkan memihak dan berkampanye. Yang paling penting, menurut Jokowi, adalah tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara.
"Presiden itu boleh kampanye. Boleh memihak. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masa ini enggak boleh," kata Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.
Pengamat bidang Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini menyebut, jika presiden bersikeras ingin mendukung salah satu Paslon, maka wajib sebagai presiden mengundurkan diri atau cuti. Apalagi pernyataan itu disampaikan di waktu yang tidak tepat yang ditunjukkan dengan adanya tentara di belakangnya dan pimpinan tentara di sebelahnya.
Ia juga menyoroti berbagai pihak yang membenarkan pernyataan presiden dengan dasar aturan. Menurutnya, pernyataan ini sudah melampaui aturan. "Ini sudah kejahatan politik," ujar Connie
Connie juga mengkritik gerakan revolusi mental yang pernah digaungkan Jokowi. “Gagasan revolusi mental dari presiden ke rakyat, harus diganti revolusi etika dari rakyat ke presiden,” ucapnya.
Pengamat hukum dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti juga menyoroti berbagai pihak yang membenarkan pernyataan presiden. Menurutnya, mereka harus membaca aturan dengan utuh.
"Pasal 299 (Undang-Undang Pemilihan Umum) sebenarnya untuk presiden yang petahana mau kampanye (untuk periode ke-2),” kata Bivitri dalam acara yang sama. Karena itu, Jokowi pada 2019 dan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 itu memang berhak berkampanye.
Menurut Bivitri, ada ketentuan lagi di pasal 280, 281, 282 bahwa Jokowi berhak berkampanye, kalau ia mendukung partainya. "Pertanyaannya. Baik Gibran maupun Prabowo dari partainya Pak Jokowi yang sekarang atau bukan? Bukan," jelasnya.
Selain itu, Bivitri menjelaskan juga bahwa ada ayat yang menjelaskan presiden boleh berkampanye jika masuk tim kampanye resmi. Presiden saat ini tidak terdaftar dalam tim sukses. “Demokrasi kita sudah di pinggir jurang,” kata Bivitri.
Sebagai informasi, Jokowi tidak pernah terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon di pilpres 2024, yang diikuti oleh putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, pasangan Capres dari Koalisi Indonesia Maju Prabowo. Netralitas presiden dalam pemilu sudah berulangkali disuarakan kubu rival.
Ketika ditanya apakah dirinya berpihak dalam pemilu 2024, Jokowi di Halim bertanya balik kepada wartawan. "Saya tanya, memihak nggak?" katanya disusul senyum simpul. Ia mengingatkan lagi yang panting tidak menggunakan fasilitas negara.
Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional atau TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, mengatakan, pihaknya menilai pernyataan Jokowi dalam konteks regulasi terutama UU Pemilu. Menurut dia, bukan permasalahan netral atau tidak netral, tetapi komitmen presiden untuk tidak melanggar hukum dengan membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Menurut Habiburokhman, TNI-Polri hingga presiden memiliki gradasi kenetralan yang berbeda-beda. TNI-Polri, menurut dia netral absolut karena tidak mempunyai hak pilih. Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia dan Direktur BUMN mempunyai hak pilih, tapi tidak boleh ikut kampanye.
"Kalau presiden itu tidak termasuk pejabat yang dilarang ikut kampanye di Pasal 280 (UU Pemilu)," ujar dia saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Januari 2024.
YOHANES MAHARSO | HAN REVANDA PUTRA
Pilihan Editor: Ketua KPU Hasyim Asy'ari Sebut 99 Persen Surat Suara Telah Disortir dan Dilipat