TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, sempat menyinggung soal demo rompi kuning yang terjadi di Prancis dalam debat kedua pada Ahad, 21 Januari 2024. Saat itu putra sulung Presiden Jokowi ini melontarkan pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, tentang bagaimana cara mengatasi greenflation.
"Greenflation itu, kita kasih contoh yang simple saja. Demo rompi kuning di Prancis. Bahaya sekali, sudah memakan korban. Ini yang harus diantisipasi. Jangan sampai terjadi di Indonesia. Belajar dari negara maju," kata Gibran menjawab sendiri pertanyaan yang dia dilontarkan ke Mahfud MD.
Lalu, apa itu demo rompi kuning di Prancis dan bagaimana faktanya?
Pada 2018, Pemerintah Prancis mengeluarkan aturan mengenai kenaikan pajak dan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi guna mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Sebenarnya tujuan dari kebijakan ini adalah pengurangan emisi karbon dari kendaraan pribadi.
Namun, kebijakan ini menjadi bumerang karena diikuti dengan kenaikan pajak. Akibatnya, rakyat Prancis kala itu merasa bahwa beban pajak tidak proporsional karena dibebankan kepada kelas pekerja dan menengah, terutama di daerah pinggiran kota dan pedesaan.
Aksi ini diketahui dijalankan dengan diorganisir lewat media sosial. Selama unjuk rasa berlangsung, kelompok kelas menengah dan pekerja melebur, membuat massa terkumpul dalam jumlah 200 ribu orang. Unjuk rasa dimulai pada 18 November 2018. Mereka berangkat dengan naik motor menuju lokasi unjuk rasa memakai rompi kuning karena aturan bagi setiap pengendara motor harus menggunakan rompi kuning.
Akhirnya, banyak dari mereka yang ikut mengenakan rompi kuning meskipun tidak mengendarai motor. Karena itu, hampir semua demonstran menggunakan rompi kuning akhirnya disebut The Yellow Vests Protests. Rompi kuning juga disebut sebagai simbol kesetiakawanan antara kelas menengah dan pekerja.
Para demonstran ini mengatakan frustasi karena dampak kenaikan pajak membuat standar hidup mereka menurun. Pendapatan mereka semakin sulit untuk menjangkau kebutuhan sehari-hari. Pengunjuk rasa juga mengkritik bahwa presiden Prancis Emmanuel Macron dianggap berpihak kepada kelompok kelas atas.
Hal ini juga disebabkan oleh reformasi peraturan untuk memperlemah posisi buruh dan penurunan pajak atas barang-barang mewah. Akibatnya presiden Macron disebut presiden kaum kaya raya Prancis.
Demo oleh kelompok rompi kuning ini kemudian dikenal sebagai unjuk rasa terburuk Prancis dalam satu dekade terakhir. Protes diwarnai dengan tindakan destruktif hingga membakar gedung sekolah. Akibatnya banyak korban terluka dan tiga orang dinyatakan tewas. Aksi protes berujung kecaman dari Presiden Prancis sendiri.
Situasi unjuk rasa kian memanas. Massa aksi semakin bertambah dan aparat yang dikerahkan juga ditambah. Aksi bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat tidak dapat dihindari hingga mengancam keamanan warga sipil. Demonstrasi berakhir setelah presiden Macron memutuskan untuk menunda peraturan kenaikan BBM selama 6 bulan dan membekukan harga energi hingga tahun 2019.
DWI RINA CAHYANI
Pilihan Editor: Peneliti IESR Nilai Gibran Salah Memahami Konteks Greenflation