TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 19 Januari 2011, Gayus Tambunan divonis hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Pegawai Pajak golongan IIIA itu terbukti bersalah melakukan korupsi, perkara suap, memberi keterangan palsu, dan mafia pajak. Lantas seperti apa kilas balik kasus Gayus Tambunan ini?
Terungkapnya Kasus Gayus
Nama lengkapnya Gayus Halomoan P Tambunan, tapi biasa disebut Gayus Tambunan saja. Dia memulai karier pegawai pajak di Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan. Setelah itu dia berpindah-pindah tugas. Pada 2007, Gayus dimutasi ke subdirektorat Banding, Direktorat Keberatan dan Banding, Ditjen Pajak. Dia langsung bekerja di Kantor Pusat Ditjen Pajak dan bertugas sebagai penelaah subdirektorat keberatan.
Tugas yang diberikan kepadanya yakni menelaah suatu keberatan dari wajib pajak atas dasar pajak yang dikenakan. Di sanalah, dia mulai mengurusi sengketa-sengketa pajak hingga diduga melakukan korupsi. Kasusnya terungkap bermula ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencurigai simpanan di rekening pegawai negeri itu mencapai Rp 25 Milyar. Padahal dia Cuma pegawai negeri golongan III-A yang hanya bergaji Rp 12,1 juta per bulan.
Berdasarkan kecurigaan itu, Bareskrim Polri lalu menetapkan Gayus sebagai tersangka kasus suap dan pencucian uang. Dia dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun, dalam persidangan, jaksa hanya menjerat Gayus dengan pasal penggelapan. Hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar menguap entah ke mana.
Menurut Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, pengadilan Gayus janggal. Soal ancaman hukuman misalnya, jauh lebih ringan dari ketentuan UU. Hakim hanya memvonisnya dengan hukuman 1 tahun percobaan. Pelaku tindak pidana pencucian uang mestinya dihukum paling sedikit 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun.
Rekayasa vonis dalam kasus Gayus
Mengutip jurnal Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Menangani Kasus Korupsi Gayus Halomoan P Tambunan, berangkat dari vonis bebas ini, lalu muncul berbagai dugaan kasus Gayus telah direkayasa. Dari pemeriksaan pihak kepolisian, diduga otak dari rekayasa adalah Haposan Hutagalung, pengacara Gayus. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Pol. Edward Aritonang.
“Adanya aliran dana dalam kasus ini (Gayus Tambunan) diatur sepenuhnya oleh Haposan Hutagalung. Ia sebagai sutradara yang mengatur skenario itu,” katanya.
Haposan disebut merancang skenario agar uang Gayus Rp 25 milyar dapat dicairkan supaya tak disita negara. Dia jugalah yang mencari orang untuk mengaku sebagai pemilik uang tersebut. Untuk kepentingan merancang skenario itu, Haposan mengadakan dua kali pertemuan di dua hotel berbeda di Jakarta. Pertemuan pertama dan kedua di Hotel Sultan dihadiri oleh Haposan, Andi Kosasih dan Gayus.
Setelah pertemuan di Hotel Sultan, kemudian mereka mengadakan pertemuan ketiga di Hotel Kartika Chandra. Dalam pertemuan tersebut hadir penyidik yang menangani kasus Gayus Tambunan, Kompol Arafat Enanie dan petugas administrasi penyidik Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini. Rekayasa yang dibuat yaitu Andi Kosasih diskenariokan sebagai pemilik uang yang ada di rekening Gayus Tambunan.
Terhadap perekayasaan kasus tersebut diberitakan bahwa Arafat diduga mendapatkan imbalan sebuah motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah, mobil Toyota Fortuner, dan rumah dari Gayus Tambunan. Sedangkan Sri Sumartini mendapat uang suap sebesar Rp 100 juta, yang lantas digunakan untuk ibadah umrah. Dalam struktur keorganisasian Mabes Polri saat itu, Arafat Enanie dan Sri Sumartini adalah anak buah dari Brigadir Edmon Ilyas.
Sebelum menjabat sebagai kepala kepolisian daerah Lampung, Edmon merupakan Direktur II Ekonomi. Saat dia menjabat sebagai Direktur II Ekonomi itulah, dua anak buahnya tersebut yang memeriksa Gayus Tambunan sepanjang Maret-Oktober 2009. Menurut pengakuan dari mantan Kabareskrim Susno Duadji, Edmon merupakan salah satu petinggi di kepolisian yang terlibat dalam makelar kasus perkara Gayus.
Tidak hanya Edmon, Raja Erizman juga diduga terlibat dalam kasus tersebut. Erziman diduga telah membuka blokir rekening Gayus yang berisi uang sebesar Rp 28 milyar. Erziman beralasan, blokir dibuka karena pemeriksaan selesai dan kasusnya sudah meluncur ke pengadilan pada November 2009. Padahal, upaya buka blokir itu untuk mengamankan duit dari penyitaan negara.
Dari mereka yang terduga masuk dalam jejaring makelar kasus, ada satu orang yang diduga sebagai “kepala suku”. Kepala suku tersebut yang tidak lain adalah Sjahril Djohan. Sementara Sjahril berada di Singapura, pemberitaan tentang isu keterlibatannya dalam makelar kasus tersebut semakin keras. Gerah dengan pemberitaan tersebut, Sjahril pun pulang ke Indonesia.
Setibanya di Indonesia, Sjahril langsung diproses oleh pihak kepolisian mengenai dugaan keterlibatannya dalam makelar kasus tersebut. Dari pengakuan Sjahril, terungkap ada uang suap dalam kasus ini mengalir ke rekening Susno Duadji. Dalam BAP, Sjahril mengatakan pihaknya membantu Haposan sebagai orang yang menghadap Susno selaku Kabareskrim Polri. Dia mengaku sebagai perantara pemberi suap.
“Sekitar bulan Desember, saya ada diberikan uang sebesar Rp 500 juta dari saudara Haposan Hutagalung, yang mana uang/dana tersebut untuk diberikan kepada Susno Duadji agar perkara berjalan sesuai dengan permintaan,” kata Sjahril.
Dari sini dapat dilihat keterlibatan Sjahril dalam berbagai makelar kasus tersebut walaupun hanya sebatas dugaan semata. Sjahril juga mengatakan bahwa Susno tidak saja telah menerima suap dalam kasus ini, namun juga berperan mengenalkan Andi Kosasih kepada Haposan. Dalam pengakuannya Sjahril juga mengatakan memang ada aliran dana dari Gayus Tambunan kepada para perwira di mabes polri.
Selanjutnya: Keterlibatan jaksa dalam rekayasa vonis Kasus Gayus