TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan dalam penanganan kasus buronan KPK Harun Masiku, lembaga antirasuah itu harus mempertimbangkan Pasal 78 KUHP tentang kedaluwarsa penuntutan. “Saya mengingatkan Pak Nawawi adanya Pasal 78 KUHP tentang kedaluwarsa penuntutan, apalagi kalau ancamannya Harun Masiku maksimal hanya 5 tahun,” ujarnya saat dikonfirmasi Tempo, Jumat, 5 Januari 2024.
Boyamin mengatakan, dengan ancaman maksumal 5 tahun maka kedaluwarsa dalam jangka waktu 12 tahun. Jika KPK menunggu selama 12 tahun, menurutnya, akan mempengaruhi dalam proses persidangan, terutama pada keterangan saksi. “Bisa jadi saksi-saksi ada yang meninggal, makin susah, akan menyulitkan nanti pemeriksaan saksi di pengadilan,” ujarnya.
Sebab itu menurut Boyamin, dibutuhkan persidangan in absentia dalam kasus politikus PDIP itu. Lagipula, kata dia, perihal pasal 38 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi hanya menyatakan memungkinkan dilakukan persidangan in absentia. “Tak ada alasan bahwa itu soal kerugian negara yang masih bisa diselamatkan. Itu kan pemahaman Pak Nawawi,” ujarnya.
Boyamin menilai jika KPK tak bisa menangkap Harun Masiku dalam rentang waktu enam bulan ke depan, maka sebaiknya dilakukan persidangan in absentia. “Maka Juli 2024 saya minta persidangan in absentia saja. Biar tak jadi beban pimpinan KPK yang sekarang. Kepentingan persidangan in absentia itu supaya ada kepastian hukum dan proses ini segera tuntas,” kata Boyamin.
Sebelumnya, Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango menilai tak tepat menerapkan persidangan in absentia atau dengan tak kehadiran dalam kasus penyuapan yang dilakukan politikus PDIP Harun Masiku yang melarikan diri sebagai tersangka KPK.
Nawawi mengatakan, memang ada aturan dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi menyoal kemungkinan peradilan in absentia. “Jadi, in absentia ini bagus pada kasus-kasus terdakwa yang misal melarikan diri, tapi meninggalkan aset-aset yang dapat menutupi kerugian negara yang telah diakibatkannya. Jadi sangat berbeda dengan kasus si Harun Masiku ini,” kata Nawawi.
Pilihan Editor: Nawawi Pomolango Nilai Peradilan In Absentia Tak Tepat untuk Kasus Harun Masiku