TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengungkapkan bahwa karier politik di Indonesia itu tidak jelas dan tidak linier seperti negara-negara demokrasi lainnya.
“Kalau kita lihat karier politik Obama di Amerika Serikat, dia punya latar belakang hukum. Jadi dia berusaha untuk mengadvokasi orang-orang kulit hitam yang terdiskriminasi di Amerika. Memberi bantuan hukum dan akhirnya dia kemudian terpilih jadi jaksa,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Unpad ini.
Menurut Kunto, karier politikus di negara demokrasi lainnya seperti Obama di Amerika itu ditempuh dari mulai menjadi relawan politik lalu kemudian bertahap naik. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di dunia politik Indonesia. “Kecuali kalau Anda jadi anaknya presiden, Anda bisa langsung jadi ketua partai,” kata dia.
Hal itu diungkapkan Kunto dalam diskusi Refleksi Akhir Tahun: Kebudayaan, Intelektual, dan Kekuasaan pada Sabtu, 30 Desember 2023. Acara itu diselenggarakan oleh Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung (FSK ITB).
Dalam acara refleksi itu, Kunto juga menjelaskan bahwa politik memiliki sifat free for all karena semua orang dari berbagai latar belakang keilmuan bisa masuk. “Itu juga yang membuat adanya risiko pendangkalan intelektual,” ujarnya.
Selain pendangkalan intelektual di dunia politik, dia juga menyebut ada peran pemerintah sebagai penguasa untuk mendangkalkan para aktor intelektual lain terutama di perguruan tinggi. Menurutnya, fenomena pendangkalan intelektualitas di Indonesia mirip seperti yang terjadi di Cina.
“Pemerintah Cina setidaknya melakukan tiga hal untuk membuat intelektualitas menjadi tumpul. Pertama, yakni dengan melakukan kontrol lewat mentorship politik terhadap mahasiswa, dosen, dan peneliti,” katanya.
Kunto melanjutkan bahwa cara kedua adalah mahasiswa didorong untuk melakukan pekerjaan sosial agar mahasiswa merasa lebih senang pada kegiatan-kegiatan yang seolah-olah memberikan dampak nyata. Hal tersebut menjadi salah satu faktor agar mahasiswa tidak melakukan diskusi karena hal itu dapat membuat mahasiswa kritis dan berbahaya bagi kekuasaan.
“Selain itu, dengan hadirnya media sosial ada fenomena slacktivism. Seseorang sudah merasa terlibat dalam gerakan sosial ketika dirinya hanya me-retweet tetapi tidak ada dampak langsung. Sebenarnya tidak apa-apa tetapi harus sambil diajak ke arah yang lebih signifikan,” katanya.
Sementara itu, hal ketiga yang dilakukan untuk menumpulkan intelektualitas adalah dengan menggenjot universitas bertaraf World Class University. Menurut Kunto, hal itu cukup familiar dengan keadaan intelektualitas di Indonesia saat ini.
“Para dosen bahkan mahasiswa S3 kemudian disibukkan dengan berbagai macam prosedur agar universitasnya bertaraf World Class University seperti harus melakukan penelitian terindeks scopus dan dianggap satu-satunya indikator intelektualitas,” kata Kunto.
Untuk mengubah kultur itu, Kunto menjelaskan perlu ada perubahan budaya intelektual untuk mengajak para mahasiswa atau sesama pelaku intelektual berdiskusi dan menciptakan diskursus yang mengganggu kekuasaan.
Pilihan Editor: Refleksi Akhir Tahun 2023, FSK ITB: Intelektual Semakin Tumpul, Kekuasaan Makin Koruptif