TEMPO.CO, Jakarta - Putusan Dewan Pengawas atau Dewas KPK terhadap Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dinilai terlambat. Hal itu diungkapkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Yusril mengatakan, meski putusan terhadap Firli Bahuri adalah pelanggaran berat, namun sudah tidak relevan lagi. Sebab purnawirawan polri bintang tiga itu lebih dulu meminta pengunduran diri ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Putusan Dewas itu terlambat sehingga tidak relevan lagi dengan proses hukum yang sudah berjalan dan permohonan berhenti Firli yang telah dilayangkan kepada Presiden," kata Yusril melalui keterangan resminya, Kamis, 28 Desember 2023.
Firli Bahuri dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Etik Dewas KPK karena terbukti menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Putusan itu diambil Majelis Etik Dewas KPK pada Jumat 22 Desember 2023 dan dibacakan pada Rabu 27 Desember 2023.
Putusannya adalah meminta Firli Bahuri mundur sebagai Ketua KPK. Namun, sebelum putusan diambil dan dibacakan Firli sudah mengajukan pengunduran diri ke Presiden pada Kamis 21 Desember 2023.
"Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya atas perintah undang-undang. Firli juga telah menyampaikan permohonan pegunduran diri secara pribadi kepada Presiden. Langkah secara etik, sudah terlambat untuk dikakukan," kata Yusril.
Menurut Politikus Partai Bulan Bintang itu, keputusan Majelis Etik Dewas KPK tidak menghasilkan apa-apa kecuali menambah kegaduhan politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Terlebih, lanjut Yusril, Dewas KPK tidak bisa memecat Firli hanya memerintahkan untuk mundur.
"Seolah-olah Presiden adalah eksekutor Putusan Majelis Etik Dewas KPK. Padahal, kewenangan Dewas adalah menjatuhkan sanksi meminta Firli untuk mengundurkan diri kepada Presiden," kata Yusril.
Pilihan Editor: Polisi Kembali Menetapkan Dua Tersangka Kasus Penyelundupan Pengungsi Rohingya ke Aceh