TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Pilpres 2024, persentase elektabilitas pasangan capres-cawapres menjadi topik menarik untuk diperhatikan. Adapun elektabilitas erat kaitannya dengan popularitas. Kandidat yang populer memiliki elektabilitas yang tinggi. Lantas, apa bedanya elektabilitas dengan popularitas?
Sebelumnya, survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia dan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran masih unggul di atas 40 persen. Sedangkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bersaing ketat di angka 20 persen.
Dalam sigi teranyar Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Selasa, 26 Desember 2023, jika pilpres dilaksanakan hari tersebut, Prabowo-Gibran dipastikan lolos putaran kedua. Sementara Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bersaing ketat.
Survei CSIS terbaru juga menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran unggul. Dalam polling yang dilaksanakan secara nasional dengan tatap muka pada 13-18 Desember 2024, Anies-Muhaimin 26,1 persen, Prabowo-Gibran 43,7 persen, dan Ganjar-Mahfud 19,4 persen.
Beda elektabilitas dengan popularitas
Elektabilitas merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, electability, yang berarti keterpilihan. Keterpilihan ini, menurut KBBI, merujuk kepada kriteria pilihan. Dalam politik, elektabilitas seseorang tinggi apabila kriteria keterpilihannya sesuai dengan banyak calon pemilih.
Adapun popularitas adalah seberapa banyak seseorang dikenal atau diketahui oleh publik. Popularitas tersebut bisa didapatkan dari promosi atau seringnya seseorang tampil di muka umum, baik melalui media massa maupun secara langsung. Singkatnya, semakin sering seseorang terlihat, hal itu akan membuatnya semakin populer.
Dikutip dari publikasi berjudul Dinamika Komunikasi Politik Menjelang Pemilu 2014, meski terkait erat, popularitas dan elektabilitas merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Elektabilitas berhubungan dengan kemampuan kandidat mempengaruhi persepsi pemilih untuk memilih dirinya. Kualifikasi itulah yang akan menjadi kriteria keterpilihan.
Berbeda dengan elektabilitas yang dibangun berdasarkan kualifikasi kandidat, popularitas bisa ditingkatkan lewat promosi. Misalnya kampanye lewat iklan politik. Sebab, iklan merupakan aspek paling berpengaruh dalam kemenangan kandidat dalam pemilu. Semakin populer seseorang, semakin mungkin kriteria keterpilihannya diketahui calon pemilih. Elektabilitas pun menjadi tinggi.
Kendati demikian, ada kalanya kandidat memiliki popularitas tinggi namun elektabilitasnya rendah. Hal ini lantaran keterkenalan tidak menjamin kriteria keterpilihannya cocok dengan pemilih. Di sisi lain, ada pula kandidat yang elektabilitasnya tinggi namun popularitasnya rendah. Meski kriteria keterpilihan kandidat tersebut banyak disukai, bisa saja kalah lantaran tidak populer.
Karena itu, popularitas dan elektabilitas bagi kandidat merupakan dua hal yang berbeda tetapi tidak terpisahkan. Sebab popularitas yang menjulang tak berarti apa-apa jika tidak memiliki kriteria keterpilihan yang tinggi. Juga percuma memiliki kriteria keterpilihan tinggi tetapi tidak populer. Karenanya elektabilitas dan popularitas yang tinggi merupakan aspek penting bagi kandidat.
ADIL AL HASAN | MUHAMMAD SYAIFULLOH
Pilihan Editor: Setara Institute Bilang Survei Elektabilitas Capres-Cawapres Semakin Tak Masuk Akal