TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengusut tuntas kasus transaksi janggal temuan PPATK dengan melibatkan aparat penegak hukum lainnya. Lalu menyampaikan hasil kajiannya kepada publik dengan transaparan dan akuntabel.
"Harapannya proses kajian tidak dilakukan secara asal-asalan hanya untuk menenangkan publik secara sesaat," kata dia melalui keterangan tertulis, pada Selasa, 19 Desember 2023.
KPU dan Bawaslu perlu sosialisasikan regulasi kampanye dan dana kampanye lebih terstruktur, sistematis, dan masif kepada peserta pemilu.
Sebelumnya, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap
transaksi mencurigakan di rekening bendahara partai politik mencapai setengah triliun rupiah. Indikasi transaksi mencurigakan muncul dari kejanggalan aktivitas rekening khusus dana kampanye (RKDK).
Neni menilai arus transaksi di RKDK seharusnya naik karena uang yang tersimpan digunakan membiayai berbagai kegiatan. Namun saat ini transaksi melalui RKDK cenderung tak bergerak. Pergerakan uang justru diduga terjadi pada rekening lain.
“DEEP memandang bahwa ini menjadi permasalahan yang sangat serius dan tidak bisa dibiarkan. Jika praktik ini terus didiamkan, maka jangan berharap bisa tercipta kontestasi yang free and fair election," tutur dia.
Dia mengatakan, transaksi janggal tersebut dapat berpotensi digunakan dalam jual beli suara yang akan merusak demokrasi dan pemilu gagal menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas dan profetik.
Neni mendorong peserta pemilu melaporkan bukan sekadar kewajiban belaka. Tapi lebih substansi dari itu pertanggungjawaban moral kepada publik. Untuk mewujudkan demokrasi yang beradab dan bermartabat. Peserta pemilu, kata dia, harus melaporkan dana kampanye secara transparan dan akuntabel mulai dari RKDK, LADK, LPSDK dan LPPDK sehingga tidak banyak aliran dana tersimpan di rekening lain.
Menurut dia, hasil pemantauan DEEP di Pemilu 2019, peserta pemilu tidak serius melaporkan dana kampanye, sehingga tidak heran ketika terjadi penyelewengan dana dan banyaknya peredaran dana ilegal di luar yang dilaporkan kepada KPU.
KPU dan Bawaslu harus memberikan akses kepada publik terkait laporan dana kampanye karena bukan termasuk informasi yang dikecualikan. Jangan hanya menampilkan nominalnya kepada publik. Juga mengajak seluruh lapisan masyarakat mengawal laporan dana kampanye.
Hal itu menjadi tantangan terbesar karena publik tidak terlalu memperhatikan soal dana kampanye dan ini menjadi isu yang termarginalkan. "Kondisi ini diperparah dengan masyarakat tak bisa mendapatkan akses mengetahui laporan dana kampanye," kata dia.
Pasal 496 UU Pemilu menyatakan peserta pemilu yang sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu, kata Neni, seperti maksud Pasal 334 ayat 1, ayat 2, dan 3, serta Pasal 335 ayat 1, 2, dan 3 dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Neni mengatakan, peserta pemilu hanya melaporkannya kepada KPU. Tapi tidak membukanya kepada publik. "Padahal ini menjadi hal yang sangat fundamental dan indikator bagi pemilih memberikan hak pilihnya dengan menelusuri laporan dana kampanye peserta pemilu," ucap dia.
Pilihan Editor: Timnas AMIN Minta Temuan PPATK soal Dana Kampanye Ilegal Diusut Tuntas