INFO NASIONAL – “No Palm Oil, No Life,” ujar Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman awal November lalu di Bali. Kalimat itu, menurut Eddy, sangat relevan dengan kenyataan bahwa minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling serbaguna di dunia.
Eddy mengatakan, minyak sawit paling produktif dengan penggunaan lahan paling sedikit pada setiap ton yang dihasilkannya. “Bayangkan, produk dari minyak sawit diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dunia, mulai dari bahan makanan, kosmetik, perawatan tubuh lainnya serta energi yang ramah lingkungan,” kata Eddy.
Kegunaan minyak sawit diakui Kepala Divisi Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB University Erliza Hambali, cukup banyak. Bahkan, karena dia berpikir sawit bisa menjadi apa saja, dia pun meneliti dan membuat produk dari minyak sawit.
“Awalnya dibuat jadi sabun dulu yang gampang. Kemudian berlanjut, setelah sabun say acari terus apa lagi yang memiliki nilai tambah tinggi,” ujar dia. Kemudian sejak tahun 2005, dia pun kerap mencari kebaikan sawit dan mensosialisasikan produk-produk hilirisasi industri kelapa sawit hingga ke kementerian dan lembaga-lembaga lainnya.
Hilirisasi industri kelapa sawit, lanjut Erliza, adalah proses pengolahan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) menjadi produk-produk bernilai tambah lebih tinggi. Produk-produk ini bisa untuk tujuan ekspor ataupun substitusi produk impor.
“Produk hilirisasi kelapa sawit terbagi menjadi tiga kelompok besar yakni oleopangan, oleokimia, dan biofuel,” ujar dia. Oleopangan, kata Erliza, merupakan produk pangan yang berasal dari minyak kelapa sawit. “Misalnya minyak goreng, margarin, shortening, dan ghee.”
Minyak kelapa sawit, lanjut dia, juga dapat dijadikan oleokimia yang menghasilkan di antaranya sabun, surfaktan, deterjen, biolubricant, shampoo, biomaterial, dan bioplastik. Minyak kelapa sawit juga dapat dijadikan biofuel yang merupakan bahan bakar nabati sehingga menghasilkan biodiesel, bioethanol, dan biogas.
“Saat ini, produk hilirisasi kelapa sawit yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah oleokimia,” tambah dia. Oleokimia merupakan industri yang mengubah minyak kelapa sawit menjadi bahan baku untuk berbagai produk kebutuhan sehari-hari. Kosmetik, farmasi, produk Kesehatan dan pertanian adalah beberapa di antaranya.
Dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan dan biodegradable, Oleokimia memiliki dampak positif bagi lingkungan. “Oleokimia dapat jadi solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor yang berasal dari minyak bumi seperti plastik dan pelumas.”
Indonesia kata Erliza bisa menggantikan semua ke produk-produk turunan sawit yang sebelumnya berbasis minyak bumi. Apalagi lahan sawit di Indonesia cukup luas. “Jadi tidak usah khawatir kalau produksinya over, kitanya yang harus giat riset. Karena logikanya kalau bukan kita, orang Indonesia yang melakukan riset, siapa lagi.” Minyak kelapa sawit, lanjut dia, hingga saat ini masih menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia dalam menambah devisa negara.
Hal itu juga diakui Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika. Penambahan devisa negara dapat diperoleh dari ekspor produk hilir sawit. Indikator pencapaian berupa jumlah ragam jenis produk hilir dan rasio volume ekspor bahan baku CPO/CPKO berbanding dengan produk olahan (processed palm oil).
“Kami mencatat terdapat sekitar 179 ragam jenis produk hilir sawit dan sekitar 90 persen volume ekspor berupa produk hilir. Hanya sekitar 10 persen volume ekspor berupa bahan baku CPO/CPKO,” kata dia.
Ekspor produk industri kelapa sawit mencapai total volume 282 juta MT dengan total nilai USD176,84 miliar selama periode tahun 2015-2022. Dari kinerja ekspor tersebut, negara melalui BPDPKS menerima pendapatan pungutan ekspor sebesar Rp 182 triliun.
Dana tersebut, kata Putu, telah digunakan sekitar Rp 152 triliun untuk menjaga keberlanjutan kelapa sawit nasional melalui program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kualitas SDM, riset dan pengembangan sawit, advokasi dan kampanye positif sawit, serta peningkatan sarana dan prasarana termasuk insentif mandatory biodiesel.
Putu mengatakan, baik oleopangan, oleokimia, dan biofuel memberikan dampak besar bagi negara, baik digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor. Menurutnya, kinerja Industri minyak goreng harus terjaga karena bagian dari penyediaan bahan pokok masyarakat.
Di masa pandemi industri oleokimia yang memproduksi personal wash sangat berperan dalam mendukung salah satu M dalam program 3M covid yaitu mencuci tangan. Industri biodiesel tumbuh signifikan didukung kebijakan mandatory biodisel yang meningkat dari B20, B30, dan saat ini B35.
Populasi yang terus bertumbuh, kata Putu, merupakan pasar besar bagi produk turunan kelapa sawit. “Jadi produk oleokimia dan oleofood (oleopangan -red) masih punya peluang dikembangkan lebih jauh. Masih banyak varian produk oleofood modern, yang menjadi kebutuhan bahan baku maupun sebagai bahan substitusi di industri pangan/bakery/horeca bisa dikembangkan dengan inovasi-inovasi baru.”
Entrepreneurship di bidang hilir sawit, diarahkan Kemenperin ke pembuatan artisan products antara lain pangan-pangan modern, bakery-patisserie berbasis lemak pangan, sabun, kosmetik, serta wellness products berbasis oleokimia. Produk oleokimia modern banyak digunakan untuk personal care/personal wash yang menghendaki sifat fisik/karakteristik tertentu, yang bisa didapatkan dari pengembangan inovasi biochemical berbasis sawit.
“Sementara posisi industri hilir sawit adalah sebagai penyedia bahan baku/bahan penolong bagi entrepreneur tersebut sehingga kegiatan bisnis level UKM bisa berkembang dengan baik,” kata dia.
Kemenperin memberikan pembinaan teknis atas industri ketiga produk hilir tersebut, antara lain standarisasi produk, pengembangan teknologi, dan fasilitasi komersialisasi hasil riset-pengembangan dalam negeri. Kemenperin juga melakukan pembinaan atas iklim usaha/investasi industri dimaksud, agar jumlah unit usaha dapat tumbuh dalam mengolah komoditas primer minyak sawit. “Hal yang juga senantiasa dijaga kemenperin adalah ketersediaan bahan baku industri berupa minyak sawit mentah, agar operasional pabrik tetap berjalan dengan lancar.”
Menurut dia, masih banyak jalur-jalur rute produksi hilir kelapa sawit yang menantang untuk diriset, dikembangkan komersial, dan dipasarkan sebagai produk baru modern berbasis sawit. “Misalnya saja produk kosmetik/personal care dengan kearifan lokal, yang digemari warga lokal dan membutuhkan produk turunan sawit sebagai bahan baku/bahan penolong.”
Ke depan, kata Putu, Industri sawit dapat bersaing jika memenuhi tiga hal ini yaitu, pertama terus mengembangkan rekayasa produk/proses produksi melalui inovasi yang dinamis. Kedua, menggunakan bahan baku CPO yang bersertifikat sustainable/berkelanjutan agar dapat diterima pasar internasional, dan ketiga, skala produksi industri hilir dasar (oleofood/chemical dasar) yang masuk dalam global value chain dalam lingkungan yang borderless.
“Tugas Kemenperin mendukung ketiga strategi tersebut melalui serangkaian kebijakan pro-hilirisasi, sebagaimana telah diamanatkan pada Perpres No 74 tahun 2022 tentang Kebijakan Industri Nasional,” ujar Putu Juli Ardika. (*)