TEMPO.CO, Jakarta - Para advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi atas dugaan penyalahgunaan wewenang. TPDI dan Perekat Nusantara menyebut ada upaya presiden menggenggam kekuasaan secara terpusat, yang berdampak pada kehidupan sosial.
Kelompok ini menyampaikan surat somasi ke Kementerian Sekretariat Negara pada Rabu siang, 6 Desember 2023. Salah satu advokat TPDI, Petrus Selestinus, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 soal batas usia calon presiden dan wakil presiden adalah gunung es yang membuka tabir politik dinasti dan nepotisme presiden.
TPDI dan Perekat Nusantara melihat hari-hari ini publik disuguhi berbagai ekspresi dalam berbagai bentuk ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan saat ini.
“Dari saat Putusan MK sampai sekarang, masyarakat masih menggunjingkan soal itu,” kata Petrus ditemui usai menyampaikan surat ke Kemensetneg.
Putusan MK yang dipersoalkan
Putusan MK soal batas usia capres dan cawapres membuka gerbang bagi Wali Kota Solo sekaligus Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi itu memperbolehkan pejabat daerah ikut kontestasi Pilpres 2024 walau batas usia belum 40 tahun.
Putusan tersebut dianggap kontroversial karena Ketua MK saat itu adalah Anwar Usman yang merupakan ipar Jokowi. Belakangan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mencopot Anwar Usman dari jabatannya karena dianggap telah melakukan pelanggaran kode etik berat. Anwar Usman dinilai memiliki konflik kepentingan dalam perkara itu.
TPDI dan Perekat Nusantara meminta Jokowi memenuhi enam hal. Mereka memberikan waktu 7 hari terhitung sejak somasi itu diterima. Enam hal yang menjadi tuntutan mereka adalah: mengembalikan netralitas aparatur negara, menghentikan intimidasi, menghentikan nepotisme, membenahi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghentikan penyalahgunaan wewenang, menghentikan praktik politik yang menyandera tokoh tertentu yang sedang bermasalah hukum.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana belum membalas pesan singkat yang dikirim melalui aplikasi perpesanan pada Rabu siang, soal somasi terhadap Jokowi. Saat ditemui di Kantor Kemensetneg di hari yang sama pada Rabu pagi, Ari belum melihat dokumen somasi ini.
“Nanti saya cek ya, belum bisa komentar soal itu,” kata Ari.