TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo mengaku pernah dimarahi Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Kemarahan kepala negara itu buntut pengusutan kasus korupsi e-KTP oleh lembaga antirasuah tersebut. Jokowi disebutnya secara langsung meminta pengusutan kasus yang ramai pada 2017 itu dihentikan.
“Begitu saya masuk (Istana), Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran yang dihentikan apanya,” kata Agus dalam wawancara di program Rosi, Kompas TV, Kamis, 30 November 2023.
Setelah Agus duduk, barulah ia tahu maksud Jokowi adalah menyuruh penghentian kasus korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Namun, Agus mengaku menolak permintaan tersebut. Sebab, tak ada aturan kasus diberhentikan oleh KPK jika surat perintah penyidikan sudah dikeluarkan. Menurutnya, sebelum ada revisi UU KPK, KPK kala itu memang tak memiliki aturan pemberhentian kasus.
Kabar ini ditolak pihak istana. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan tidak ada persamuhan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2017. "Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda presiden," katanya dalam pesan singkat pada Jumat, 1 Desember 2023.
Kilas balik kasus korupsi e-KTP
Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri dalam pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional. Kemendagri juga menyiapkan dana senilai Rp 258 miliar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan seluruh Indonesia demi pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010.
Koran Tempo terbitan Selasa, 13 Agustus 2013, melaporkan kasus ini terendus berkat laporan Muhammad Nazaruddin, terpidana 7 tahun kasus suap proyek Wisma Atlet kepada KPK. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu mengklaim telah menyampaikan informasi tentang sejumlah kasus korupsi kepada KPK, termasuk dugaan mark-up proyek e- KTP tersebut.
Elza Syarief, pengacara Nazaruddin, mengklaim proyek e-KTP itu senilai Rp 5,8 triliun dengan mark-up sebesar 4-5 persen. Elza mengatakan terdapat indikasi gratifikasi berkaitan dengan proyek tersebut. “Juga bagi- bagi uang pada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat,” ujarnya. Namun ia menolak menyebutkan nama-nama yang diduga terlibat. Nama-nama itu, kata dia, sudah disampaikan oleh kliennya saat diperiksa KPK.
Proyek e-KTP memang mengantongi berbagai kejanggalan sejak proses lelang tender. Hal ini membuat berbagai pihak seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri dan KPK menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan dan investigasi.
Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara merugi sebesar Rp 2,314 triliun gara-gara proyek ini. Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah tersangka, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto.
Selanjutnya: Aliran duit korupsi Setya Novanto