TEMPO.CO, Jakarta - Meskipun disenangi pemilih Generasi Z atau Gen Z, tetapi Fikri Disyacitta Dosen Komunikasi Politik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebut penggunaan gimik dalam kampanye politik tidak melulu efektif saat dihubungi oleh Tempo.co pada Sabtu, 2 Desember 2023. Lebih lanjut, dalam wawancara yang dilakukan melalui WhatsApp tersebut, Fikri menyebut bahwa paslon harus waspada dengan jebakan echo chamber di media sosial.
“Menurut saya, semua paslon harus waspada dengan apa yang disebut echo chamber, karena hal tersebut dapat menjadi jebakan di media sosial. Boleh jadi di media sosial unggul dengan penggunaan tagar dan menjadi viral. Namun ingat, dalam pemilu, mesin politik riil yang menentukan kemenangan,” kata Fikri.
Selain itu, Fikri juga menekankan mengenai pentingnya pendekatan konvensional seperti canvassing atau door to door untuk menyapa langsung pemilih yang tidak akrab dengan media sosial dan gimik. Menurut Fikri, hal tersebut masih harus dilakukan mengingat secara jumlah, pemilih berusia 40 tahun ke atas pada Pemilu 2024 mencapai 48,07 persen dari jumlah pemilih nasional.
“Metode konvensional seperti door to door itu menurut saya masih penting, kan tidak semua masyarakat di Indonesia bermain media sosial ya. Nah, jadi metode tersebut masih harus dilakukan untuk menyapa pemilih yang tidak akrab dengan media sosial dan gimik, mengingat pada Pemilu 2024 jumlah pemilih berusia 40 tahun ke atas masih mencapai 48,07 persen dari jumlah pemilih nasional,” ujar Fikri.
Digunakan Semua Paslon
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, menurut Wijayanto selaku Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menyebut bahwa ketiga pasangan menggunakan dan mereplikasi gimik tertentu dengan kadar yang berbeda-beda. Lebih lanjut, kadar gimik tertinggi berada pada tarian gemoy yang seakan-akan menggambarkan Prabowo sebagai sosok yang menggemaskan.
Wijayanto menilai bahwa penggunaan gimik gemoy dilakukan dengan menargetkan suara Generasi Z yang menjadi kelompok pemilih baru dan muda pada kontestasi Pilpres 2024. Kendati demikian, menurut Wijayanto, strategi tersebut membuah hasil berdasarkan survei elektabilitas sejumlah lembaga riset yang menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Prabowo-Gibran di kelompok pemilih Generasi Z meningkat hampir dua kali lipat.
Meskipun demikian, selain paslon Prabowo-Gibran, paslon lainnya, yakni Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sebenarnya juga menggunakan strategi yang serupa, meski tidak terlalu terlihat. Anies dan Muhaimin, misalnya, menggunakan gimik slepet sarung, sedangkan Ganjar menggunakan salam tiga jari ala three-finger yang digunakan oleh para pemberontak yang melawan tirani dalam film The Hunger Game.
Menurunkan Kualitas dan mengancam Demokrasi
Masih menurut Wijayanto, kondisi tersebut berpotensi untuk menurunkan kualitas pemilihan umum karena kampanye penuh gimik di media sosial yang sifatnya satu arah dan tidak dialogis. Selain itu, menurut Wijayanto, dengan maraknya penggunaan gimik sebagai strategi kampanye politik, masa depan demokrasi dapat ikut terancam.
Ia khawatir jika kontestasi Pilpres 2024 nantinya akan menjadikan Indonesia seperti Filipina yang memenangkan Bongbong Marcos. Dalam kontestasi Pilpres Filipina yang diselenggarakan pada tahun lalu, Bongbong Marcos yang memiliki rekam jejak buruk, dapat memenangkan pemilihan presiden dengan merebut suara pemilih muda melalui media sosial.
RENO EZA MAHENDRA | KORAN TEMPO
Pilihan Editor: Seberapa Kuat Gimik dalam Kampanye Politik Efektif Pikat Pemilih Gen Z? Begini Kata Dosen UNY