TEMPO.CO, Jakarta - Pasca-ditetapkannya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pakar hukum Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi harus mengeluarkan Keputuaan Presiden (Keppres) penonaktifan Firli Bahuri. "Setelah resmi menjadi tersangka, maka Presiden harus mengeluarkan Keppres penon-aktifan sementara sampai dengan ada putusan pengadilan yg mempunyai kekuatan hukum tetap. Ini perintah Undang-Undang KPK bukan semata-mata kewajiban presiden," kata Abdul Fickar kepada Tempo pada Kamis pagi, 23 November 2023.
Abdul Fickar mengatakan berbagai pihak yang menangani kasus Firli Bahuri seperti Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan Agung harus sigap, mengingat kasus ini menggadaikan nama institusi. "Ya penanganan harus cepat, karena peristiwanya sudah cukup lama dan jika dilambat-lambatkan akan menurunkan kredibilitas KPK sebagai institusi," kata Abdul Fickar.
Ia mengatakan kasus Firli Bahuri tidak mengejutkan, sebab persoalannya telah jelas dan terang dan kepolisian telah cukup banyak bukti. Namun, upaya paksa tetap harus dilakukan oleh Kepolisian untuk mengusut barang bukti. Sebab, ada potensi barang bukti.
"Setelah penetapan sebagai tersangka, maka upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan, dan penyitaan barang bukti dapat dilakukan kepolisian. Dan ini perlu dilakukan, selain ancaman hukumanya lima tahun keatas, kekhawatiranmya juga tersangka menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya, itu potensial bisa terjadi. Karena itu ini alasan dan dasar yang kuat bengan kepolisian untuk melakukan upaya paksa," katanya.
Abdul Fickar menyampaikan jika Firli Bahuri harus mundur sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Tentu saja, begitu ditetapkan sebagai tersangka, maka yang bersangkutan harus mundur," katanya.
Pilihan Editor: Eks Penyidik KPK Ingatkan Firli Bahuri untuk Nonaktif Sementara Setelah jadi Tersangka Pemerasan