TEMPO.CO, Jakarta - Diretur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedy Kurnia Syah menilai kritikan dari calon presiden Ganjar Pranowo kepada Presiden Jokowi sebagai langkah blunder. Pasalnya, menurut dia, hal tersebut membuat elektabilitas Ganjar merosot.
Berdasarkan hasil survei IPO pada periode 10-17 November, menurut Dedy, elektabilitas Ganjar hanya sebesar 28,7 persen.
"Dari sisi internal PDIP saja misalnya di Jateng, kemudian Provisi Bali. Ganjar Pranowo tidak berhasil untuk mendapatkan suara PDIP secara mutlak," kata Dedi saat peluncuran survei tersebut, Senin, 20 November 2023.
Dedy mengingatkan agar Ganjar berhati-hati dalam bermanuver, termasuk dalam memberikan pernyataan, mulai dari komentar maupun pujian. Ia mengatakan terbelahnya konstituen Ganjar sudah terbaca, misalnya di Jawa Tengah yang merupakan lumbung konstituen PDIP. Di sana, kata Dedy, banyak masyarakat yang justru tidak mendukung Ganjar dan kukuh berpihak kepada Jokowi.
"Artinya di situ Prabowo Subianto memang mendapatkan porsi," kata dia.
Reaksi Ganjar terhadap pemerintah, menurut Deddy, justru dapat di manfaatkan Jokowi sebagai amunisi.
Saran untuk Ganjar menggerek dan memperbaiki elektabikitas
Dedy memberikan saran kepada Ganjar Pranowo agar elektabilitasnya terus terjaga. Dia menilai hal itu bisa dilakukan jika Ganjar tidak memainkan perannya sebagai oposisi.
"Cukup tidak berikan komentar terhadap apa-apa yang sudah dilakukan pemerintah karena resikonya cukup tinggi," ujarnya.
Apalagi, menurut dia, Ganjar saat ini didampingi oleh Mahfud Md yang tak lain merupakan bagian dari pemerintah Jokowi. Hal tersebut diartikan Dedy, memberikan sentimen negatif tersendiri.
"Ganjar ini menyinggung cawapresnya," kata dia.
Sekali lagi ditekan Dedy bahwa Ganjar mesti menahan diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemerintah.
"Ganjar memutuskan kritik Jokowi maka keuntungannya akan didapatkan Jokowi dan berpindah ke Prabowo buka ke Ganjar," ujarnya
Dedi menilai Ganjar seharusnya memainkan strategi sebagai orang yang ditinggalkan oleh Jokowi. Misalnya sebagai pendukung Jokowi yang ditinggalkan atau sebagai tokoh yang dimentori Jokowi tapi ditinggalkan begitu saja.
"Hal-hal dramatis seperti ini saya kira cukup berhasil meningkatkan elektabilitas. Karena terbukti Prabowo melakukan ini dan Jokowi melakukan ini," kata dia.
Jokowi vs PDIP
Sebelumnya, Jokowi dan PDIP berseteru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka bertarung dalam Pilpres 2024. Keputusan tersebut kontroversial karena Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran.
Putra sulung Jokowi itu belakangan ditetapkan sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Selain itu, Anwar Usman pun dicopot dari posisinya sebagai Ketua MK setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan Anwar terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat.
Dukungan keluarga Jokowi terhadap Prabowo-Gibran semakin kuat karena Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Kaesang Pangarep, adik bungsu Gibran, juga mendukung pasangan dengan nomor urut dua tersebut. Belakangan, menantu Jokowi yang juga kader PDIP dan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, menyatakan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Hal itu membuat para politikus PDIP murka dan kemudian melontarkan banyak kritikan kepada Jokowi, termasuk oleh Ganjar Pranowo. Yang terbaru, Ganjar menilai penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia saat ini berada di skala 5 dari 10. Hal itu dinyatakan Ganjar saat menghadiri Sarasehan Nasional Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Negeri Makassar (UNM), Sabtu kemarin, 18 November 2023.